MAKALAH
ALIRAN SYARIYAH
DAN MATURIDIYAH
“disusun untuk memenuhi tugas presentasi”
Dosen Pengampu:
Muhammad Nur Hadi, M.PdI
Oleh:
Kelompok III
Dewi Nur Jannah (201386010051)
KHusnul Khotimah (201386010045)
Maslukhi Ulin Nuha
(201386010055)
Nasikhul Amin (201386010037)
FAKULTAS AGAMA ISLAM
PENDIDIKAN AGAMA ISLAM
UNIVERSITAS YUDHARTA PASURUAN
2014
BAB
I
PENDAHULUAN
1.1 Latar
Belakang
Munculnya berbagai macam golongan-golongan aliran
pemikiran dalam Islam telah memberikan warna tersendiri dalam agama Islam.
Pemikiran-pemikiran ini muncul setelah wafatnya Rosulullah. Ada beberapa faktor
yang menyebabkan munculnya berbagai golongan dengan segala pemikiranya.
Diantaranya adalah faktor poitik sebagaimana yang telah terjadi pertentangan
antara kelompok Ali dengan pengikut Muawiyah, sehingga memunculkan golongan
yang baru yaitu golongan khawarij. Lalu muncullah golongan-golongan lain
sebagai reaksi dari golongan satu pada golingan yang lain.
Asy'ariyah sebagai salah satu aliran dalam teologi Islam,
mencuat ke atas secara vulgar sebagai manifestasi sikap kritis dan reaktif
terhadap pemikiran yang berembang sebelumnya terutama aliran Mu'tazilah.
Pendiri aliran ini tidak pernah memberikan label nama tertentu terhadap aliran
ini, tapi para pengikutnyalah yang memberii
narna dengan menisbatkan kepada pendirinya yakni Abu Hasan Ibnu Ismail
al-Asy’ari.
Aliran
Maturidiyah, baik Samarkand maupun Bukhara, sepakat menyatakan bahwa pelaku
dosa masih tetap sebagai mukmin karena adanya keimanan dalam dirinya. Adapun
balasan yang di perolehnya kelak di akhirat tergantung pada apa yang di lakukan
di dunua.
1.2 Rumusan
Masalah
1.2.1
Sejarah aliran Asy’ariah dan Maturidiyah
1.2.2
Pemikiran aliran Asy’ariah dan
Maturidiyah
1.2.3
Tokoh-tokoh aliran Asy’ariah dan
Maturidiyah
1.3 Tujuan
1.3.1
Supaya mahasiswa bisa menggali lebih
dalam apa itu ilmu kalam klasik yang di
pelopori oleh Asy’ariyah dan Maturidiyah
1.3.2
Mahasiswa
mengetahui aliran-aliran ilmu kalam klasik
1.3.3
Mahasiswa
mengetahui siapa saja tokoh-tokoh yang di pelopori oleh Asy’ariyah dan
Maturidiyah .
BAB
II
PEMBAHASAN
PEMBAHASAN
2.1 Sejarah
munculnya aliran Asy’ariah dan Maturidiyah
1.
Aliran Asy’ariah
Aliran
asy’ariah dibangun oleh Abu hasan Ali bin isma’il Al-Asy’ari (873-935 M) dalam
ilmu kalam, aliran ini sering disebut sebagai aliran tradisonal. pada mulanya
al-juba’i adalah sorang tokoh mu’tazilah sehingga menurut al-Husain Ibn
Muhammad al-’askari, aljubbai berani mempercayakan perdebatan dengan lawan
kepada al-’asyari. hal ini memperlihatkan bahwa al-asy’ari adalah seorang yang pada mulanya penganut
mu’tazilah yang tangguh, sehingga ia mendapat perintah dan kepercayaan untuk
berdebat dengan orang-orang yang merupakan lawan mu’tazilah.
Tetapi
oleh sebab yang tidak begitu jelas, asy’ari telah puluhan tahun menganut paham
mu’tazilah, akhirnya meninggalkan ajaran tersebut. sebab yang biasa dipakai
untuk ini berasal dari al-subki dan ibn asakir, yang mengatakan bahwa suatu
malam al-asy’ari bermimpi. dalam mimpinya itu Nabi muhammad SAW, mengatakan
kepadanya bahwa madzhab ahli hadistlah yang benar dan madzhab mu’tazilah salah.
Sebab
lain bahwa asy’ari berdebat dengan gurunya, al-jubbai dan dalam perdebatan itu
guru tak dapat menjawab pertanyaan murid.tetapi terlepas oleh sebab-sebab
tersebut diatas, yang jelas bahwa asy’ari ini muncul sebagai alternatif yang
menggantikan kedudukan ajaran teologi mu’tazilah yang sudah mulai ditinggalkan
orang sejak zaman almutawkkil. diketahui bahwa setelah al mutawakkil
membatalkan putusan makmun yang menetapkan aliran mu’tazilah sebagai madzhab
negara. kedudukan aliran ini menurun, apalagi setelah itu al-mutawakkil
menunujukkan sikap penghargaan dan penghormatan terhadap ibn hanbal sebagai
lawan mu’tazilah terbesar diwaktu itu.ajaran-ajaran asyariah anatara lain:
a. Sifat
Tuhan
Karena
kontar dengan mu’tazilah, al-asyari membawa paham tuhan mempunyai sifat.
menurutnya, mustahil Tuhan mengetahui dengan dzat-Nya, karena ini akan membawa
kesimpulan bahwa dzat Tuhan itu pengetahuan-Nya, dan dengan demikian tuhan
sendiri menjadi pengetahuan. padahal, Tuahan Bukan pengetahuan (‘Ilm) tetapi
yang maha mengetahui (‘alim). Tuhan mengetahui dengan pengetahuan, dan
pengetahuan-Nya bukan Dzat-Nya. demikian dengan sifat-sifat Tuhan lainnya,
seperti hidup, berkuasa, mendengar, melihat dsb.
b. Dalil
Adanya Tuhan
Menurut
mu’tazilah, alasan manusia harus percaya kepada Tuhan karena akal manusia
sendiri yang menyimpulkan bahwa tuhan itu ada. sedangkan menurut asy’ariyah,
manusia wajib meyakini Tuhan karena Nabi muhammad mengajarkannya bahwa tuhan
itu ada sebagaimana yang dinyatakan dalam Al-Qur’an. jadi, manusia wajib
percaya terhadap adanya tuahan karena diperintahkan Tuhan dan perintah ini
ditangkap akal. disini Al-Qur’an menjadi sumber pengetahuan dan akal sebagai
instrumennya.
c. kekuasaan
Tuhan dan perbuatan manusia
Dalam
masalah ini asy’ariyah mengambil posisi tengah antara pendapat jabariah dan
mu’tazilah. menurut jabariyah, manusia mempunyai kemampuan untuk mewujudkan
perbuatannya, sedangkan menurut mu’tazilah manusia itulah yang mewujudkan
perbuatan dengan daya yang diberiakn tuhan kepadanya. sebagai jalan kelauar
dari dua pendapat yang bertentangan itu, asy’ariyah mengambil faham kasab
sebagai jalan tengahnya, yang sulit dimenegrti kecuali bila paham kasab itu
dipandang, sebagai usaha untuk menjauhi jabariah dan qodariah. namun setelah melalui
jalan yang berbelit-belit akhirnya asy’ariyah menjatuhkan pilihannya kepada
paham jabariyah.
2.
Aliran Maturidiyah
Aliran
maturidiyah lahir di Samarkand, pertengahan kedua dari abad IX M. pendirinya
adalah Abu Manshur Muhammad bin Muhammad bin Mahmud Almaturidi, di daerah
Maturid Samarqand, untuk melawan mazhab Mu’tazilah. Abu manshur Maturidi (wafat
333 H) menganut mazhab Abu Hanifah dalam masalah fikih. Oleh sebab itu,
kebanyakan pengikutnya juga bermazhab hanafi. Riwayatnya tidak banyak diketahui.
Ia sebagai pengikiut Abu Hanifah sehingga faham teologinya memiliki banyak
persamaan dengan paham-paham yang di pegang Abu Hanifah. System pemikiran
aliran maturidiyah, termasuk golongan teologi ahlu sunnah.
Karir
pendidikan Al-Maturidi lebih dikonsentrasikan untuk menekuni bidang biologi
dari pada fiqih. Ini dilakukan utuk memperkuat pengetahuan dalam menghadapi
faham-faham teologi yang banyak brkrmbang dalam masysrakat Islam, yang di
pandangnya tidak sesuai dengan kaidah yang benar menurut akal dan syara.
Pemikiran-pemikirannya
banyak dituangkan dalam bentuk karya tulis, diantaranya ialah Kitab Tauhid,
Ta’wil Aq Quran Makhaz Asy Syara’i , Al-Jadl, Ushul fi Ushul Ad-Din, Maqalat fi
Al-Ahkam Radd Awa’il Al-Abdillah li Al-Ka’bi, Radd Al-Ushul Al-Khamisah li Abu
Muhammad Al-Bahili, Radd Al-Imamah li Al-Ba’ad Ar-Rawafid, Dan Kitab Radd ‘Ala
Al-Qaramatah. Selain itu ada katrangan-karanga lian yang diduga ditulis
olehnya, yaitu Risalah fi Al-Aqaid Dan Syarh Fiqh Al-Akbar.
Untuk
mengetahui system pemikiran Al-Maturidi, kita tidak bisa meninggalkan pemikiran
Asy’ari dan aliran Mu’tazilah, karena ia tak lepas dari suasana zamannya.
Maturidiyah dengan Asy’ariyah sering sama dalam pemikirannya, karena kesamaan
lawan yang dihadapinya yaitu aliran Mu’tazilah. Namun tetap terdapat perbedaan
diantara keduanya. Jadi tujuan lahirnya aliran Maturidiyah adalah sebagai
reaksi terhadap aliran mu’tazilah yang di anggap tidak sesuai dengan kaidah
yang benar menurut akal dan syara’.
2.2
Pemikiran aliran Asy’ariah dan Maturidiyah
1. Aliran
Asy’ariah
Adapun formulasi pemikiran Al
asy’ari, secara esensial, menampilkan sebuah upaya sintesis antara formulasi
ortodokx ekstrim di satu sisi dan mu’tazilah di lain sisi. Maksudnya, dari segi
etosnya, pergerakan tersebut memiliki semangat ortodoks. Sedangkan aktualitas
formulasinya jelas menampakan sifat reaktif terhadap mu’tazilah, suatu reaksi
yang tak dapat dihindarinya. Corak pemikiran yang sintesis ini, mungkin
dipengaruhi pemikiran Ibnu Kullab (tokoh sunni yang wafat pada 854 M)
a. Tuhan
dan sifat-sifat-Nya
Abul Hasan Al Asy’ari dihadapkan
pada dua pandangan ekstrim. Di satu sisi ia berhadapan dengan kelompok
mujasimah dan musyabihah yang berpendapat bahwa Allah mempunyai semua sifat
yang disebutkan daam Al-Qur’an dan Hadits, dan sifat-sifat itu harus dipahami
menurut arti harfiahnya. Di lain sisi, beliau berhadapan dengan mu’tazilah yang
menolak konsep bahwa Allah mempunyai sifat, dan berpendapat bahwa mendengar,
kuasa, mengetahui, dan sebagainya bukanlah sifat , tetapi substansi-Nya,
sehingga sifat-sifat yang disebut dalam Al-Qur’an dan Hadits itu harus
dijelaskan secara alegoris.
Menghadapi dua kelompok tersebut, Al
asy’ari berpendapat bahwa Allah memang memiliki sifat-sifat itu (berbeda dengan
mu’tazilah) namun tidak boleh diartikan secara harfiah. Selanjutnya Al asy’ari
berpendapat bahwa sifat-sifat Allah itu unik, sehingga tidak dapat dibandingkan
dengan sifat-sifat manusia yang tampaknya mirip.
b. Kebebasan
dalam berkehendak
Menurut Asy’ariyah Allah pencipta
perbuatan manusia, sedangkan manusia sendiri yang mengupayakannya (muktasib).
Hanya Allah-lah yang mampu menciptakan segala sesuatu (termasuk keinginan
manusia). Hal ini berbeda dengan mu’tazilah yang berpendapat bahwa manusia menciptakan
perbuatannya sendiri.
c. Akal
dan wahyu
Walaupu Al asy’ari dan mu’tazilah
mengakui pentingnya akal dan wahyu, mereka berbeda menghadapi persoalan yang
memperoleh penjelasan kontradiktif dari akal dan wahyu. Al asy’ari mengutamakan
wahyu, sementara mu’tazilah mengutamakan akal.
Dalam menentukan baik
dan burukpun terjadi perbedaan pendapat diantara mereka. Al Asy’ari berpendapat
bahwa baik dan buruk harus berdasarkan pada wahyu, sedangkan mu’tazilah pada
akal.
2. Aliran
Maturidiyah
a. Kemampuan
Akal Manusia
Dalam hal ini Bazdawi
sepaham dengan Maturidi yaitu akal mampu mengetahui adanya Tuhan dan mengetahui
baik dan buruk. Kendati demikian sebelum datangnya keterangan wahyu, tidaklah
ada kewajiban untuk mengetahui Tuhan dan bersyukur kepadanya, serta tidak ada
kewajiban untuk mengerjakan perbuatan baik atau menjadi perbuatan jahat.
Kewajiban-kewajiban kata bazdawi ditentukan hanya oleh tuhan dan
ketentuan-ketentuan itu dapat diketahui melalui wahyu.
b. Kehendak dan Kekuasaan Tuhan
Bazdawi menegaskan bahwa Tuhan mempunyai kekuasaan
mutlak. Tuhan berbuat apa saja yang dikehendaki Nya dan menentukan segala-gala
Nya, menurut kehendak Nya. Dan Tuhan pasti memenuhi wa’adNya yakni memenuhi
janji untuk memberi upah kepada orang yang berbuat baik.
Al Bazdawi dalam hal ini berpendapat : Tuhan tidak
mungkin tidak memenuhi janjiNya kepada
manusia yang berbuat baik dan tidak mungkin pula meninggalkan ancamanNya
terhadap yang berbuat jahat. Karena tidak mungkin, maka dengan kata lain Tuhan
menjadi wajib memenuhi janji dan ancamanNya.
2.3 Tokoh-tokoh
dalam aliran Asy’ariah dan Maturidiyah
1. Aliran
Asy’ariah
a. Al-Baqillani
Riwayat Hidup
Menurut penuturan Ibn
Khalkan, nama lengkapnya adalah Al-Qadli Abu Bakar Ibn Thayyib Ibn Muhammad Ibn
Ja'far Ibn Qasim, tetapi ia lebih popular dengan nama al-Baqillani. Tempat dan
tanggal lahirnya tidak diketahui secara pasti. Tapi Ibnu Khalkan hanya berani
memberikan informasi bahwa masa awalnya
dibesarkan di Bashrah. Yang dapat diketahui secara pasti beliau
meninggal di Baghdad tahun 403 H / 1013 M, dan dimakamkan berdekatan
dengan nama Ahmad Ibnu Hanbal di Bab
al-Harb.
Otorita intelektualnya
diperoleh dari dua orang murid utama al-Asy'ari, yakni Abdillah Ibn Mujahid
serta Hasan al-Bahili. Al-Baqillani dikenal sebagai pakar ilmu kalam,
An-Nadlar, serta ilmu Ushul. Ketiga ilmu tersebut diperoleh dari Ibn Mujahid.
Menurut Ibn Asakir, ketiga ilmu tersebut juga diperdalam bersama-sama Ibnu
Furak dan al-Asfaraini. Apabila Asfaraini lebih banyak mendekati
Al-Bahili, maka al-Baqillani dan Ibn Furak lebih banyak mendekati Mujahid.
Dalam pandangan Ibnu Taimiyah, al-Baqillani merupakan salah seorang
Mutakallimin Asy'ariyah yang terbaik.
Al-Baqillani dikenal
sebagai orator, dan agitator yang mengagumkan karena ia memiliki gaya retorika
yang komunikatif, juga piawai dalam berdiplomasi. Kemampuan al-Baqillani
disempurnakan dengan kemampuan menulis buku secara produktif.
b. Al-Juwaini
Riwayat Hidup
Nama lengkapnya adalah
Badul Malik bin Abdullah bin Yusuf bin Muhammad bin Abdullah bin Hayawi.
Dilahirkan pada tanggal 18 Muharram tahun 419 H. bertepatan dengan tanggal 12
Pebruari 1028 M. di Bustanikan, sebuah desa dekat Naisabur. Beliau meniggal
dunia pada usia 59 tahun, tepatnya pada tanggal 25 Rabi'ul Akhir 478 H., di
kota kelahirannya.
Ia dikenal dengan
panggilan Abul Ma'ali yang menunjukkan pengakuan umat atas kepakarannya,
keagamaan, serta ketokohannya di tengah-tengah masyarakat luas. Di samping itu,
ia juga mendapat gelar Imam Haramaian setelah mengajar di dua kota suci Mekkah
dan Madinah.
Semula, ia belajar
ilmu-ilmu agama kepada ayahnya sendiri karena kecerdasan ketekunannya. Dalam
usia 20 tahun sudah dipercayai mengajar di Madrasah Naisabur menggantikan
ayahnya yang meninggal dunia. Selanjutnya secara berturut-turut ia mempelajari
ilmu fikih di bawah bimbingan Abul Qasim Al-Asfarayani, dan memperdalam
pengetahuan tentang Alquran di bawah bimbingan Ibnu Muhammad an-Naisaburi
al-Khabazi, belajar tentang Hadits kepada Abu Said Abdurrahman bin
An-Naisaburi, memperdalam ilmu Lughah kepada Syeh Hasan bin Faidlol bin Ali
Jasyi’iy, serta memperdalam filsafat secara otodidak. Pada tahun 450 H/1058 M,
ia mengajar di Makkah dan Madinah, dan baru pulang setelah Nidzamul Mulk
berkuasa karena mendapat panggilan untuk mengajar di sekolah tersebut.
Al-Juwaini melaksanakan tugas itu dengan baik sampai beliau meninggal dunia
pada tahun 478 M/1085 M.
c. Al-Ghazali
Riwayat Hidup
Al-Ghazali dilahiran
pada pada abad kelima Hijriyah tepatnya
pada 450 H di Thus, Salal, Kharasan.
Nama lengkapnya adalah Abu Hamid Muhamad bin Ahmad al-Ghazali, yang
mendapat gelar Hujjatul Islam Zainuddin at-Thusi al-Faqih as-Syafi’i. Disamping itu, al-Ghazali juga mendapat gelar
lain yaitu Bahr Mughriq.
Semenjak kecil,
al-Ghazali sangat mencintai ilmu pengetahuan Ia memiliki kecenderungan untuk
melihat sesuatu sampai kepada akar-akamya Hal ini terlihat jelas lewat
pernyataannya: "Kehausan mendapatkan hakekat sesuatu sudah menjadi tabiat
dan kebiasaan semenjak masa kecil saya.
Kebiasaan hidupku ini merupakan insting dan fitrah dari Allah yang
diberikan kepadaku, bukan atas pilihan dan
usahaku.
Al-Ghazali muda tampil
sebagai sosok yang cerdas, tekun dan ulet. Ia tidak membutuhkan waktu yang
relatif lama untuk menguasai suatu ilmu pengetahuan. Padahal waktu yang
dimiliki lebih banyak digunakan untuk mengkaji ilmu pengetahuan. Maka wajarlah
jika ia kemudian ia menguasai berbagai
disiplin ilmu, sehingga al-Juwaini memberikan gelar 'Bahrun Mughriq' (samudra
yang dalam).
Setelah menyelesaikan
studinya di Thus dan Jurjan, beliau melanjutkan ke kota Naisabur. Pada waktu
menghadiri majlis Wazir Naizamul Mul, suatu forum pertemuan antara kaum
intelektual- kecemerlangan dan keluasan ilmunya tampak sangat menonjol dan
mengagumkan banyak pihak. Berkat kedalaman ilmu, kefasihan lisan, kekuatan
argumentasi, dan 'low profile' nya membuat diskusan Nizamul Mulk terkagum-kagum
padanya. Maka sebagai rasa simpati, Beliau diangkat sebagai Guru Besar
Perguruan Nidzamiyah di Baghdad.
Dalam perjalanan bidup
masa tuanya -setelah empat tahun mengajar di Baghdad, al-Ghazali menunaikan
ibadah haji kemudian 'melancong' ke Syam dan menetap di mesjid Umawi, sebagai
'abid dan zahid. Selanjutnya ia
mengembara sebagai filosuf dan sufis, sehingga ketika kembali lagi ke Baghdad
ia bukan hanya sebagai guru yang alim tetapi juga sebagai Imam sufi merangkap
Mursyid selama kurang lebih sepuluh tahun. Dari Baghdad ia pindah ke Naisabur,
kemudian kembali lagi ke Thus. Di Thus inilah beliau mendirikan sebuah lembaga
pendidikan dan membinanya hingga beliau meniggal dunia.
2.
Aliran Maturidiyah
Salah
satu tokoh penting dari aliran Maturidiyah ini ialah al-Bazdawi, yang nama
lengkapnya adalah Abu al-Yusr Muhammad al-Bazdawi. Ia dilahirkan pada tahun 421
H, namun orang tidak mengetahuinya secara pasti, di mana ia dilahirkan. Kakek
Bazdawi adalah murid Maturidi, dan Bazdawi mmepelajari ajaran-ajaran Maturidi
daru orang tuanya, tidak di ketahui secara pasti di kota mana-mana saja Bazdawi
bermukim, kecuali di sebutkan bahwa ia berada di Bukhara pada tahun tahun 478
H/1085 M, dan menjadi qhadi di Samarkand pada tahun 481 H/1088 M, kemudian
wafat di Bukhara pada Tahun 493 H/1099 M.
Dengan
demikian dapat di duga bahwa Bazdawi menghabiskan bagian dari masa hidupnya di
Bukhara. Ia dalah tokoh ulama yang dalam bidang fiqh brmazhab hanafi. Karyanya
yang terknal adalah kitab Ushul al-Din. Al-Bazdawi sndiri mempunyai banyak
murid, dan salah seorang daripadanya ialah Najm al-Din Muhammad al-Nasafi. Ia
adalah pengarang buku al-‘aqaid al-nasafiah.
Seperti
di ketahui, tidaklah selamanya pengikut suatu aliran, pendirinya selalu sama
dengan aliran yang ia ikuti. Hal ini terjadi pada Bazdawi yang
pendirian-pendiriannya lebih dekat kepada asy-‘Ariyah dapipada kepada maturidi,
sementara maturidi sendiri lebih dekat kepada mu’tazilah. Untuk mengetahui
ajaran atau faham Bazdawi yang di sebut pula dengan Maturidiyah Bukhara,
ajaran-ajarannya sebagai berikut:
a.
Kemampuan
akal manusia
Bazdawi
dan maturidi mempunyai pandangan yang sama tentang kemampuan akal manusia,
mengetahui adanya Tuhan, dan mengetahui baik dan buruk, meskipun demikian,
mengetahui adanya Tuhan dan bersyukur kepada-Nya bukanlah merupakan kewajiban
sebelum datangnya keterangan wahyu, dmikian pula mengerjakan perbuatan baik dan
menjauhi perbuatan jahat, karena menurutnya kewajiban-kewajiban itu, hanya di
tentukan oleh Tuhan, dan ketentuan-ketentuan itu hanya di ketahui melalui
wahyu.
b. Perbuatan
manusia
Tentang perbuatan
manusia, Bazdawi tidak sefaham dengan maturidi.. mnurut pendapatnya, sekalipun
perbuatan manusia itu di ciptakan oleh Tuhan, tetapi bukanlah perbuatan Tuhan.
Manusia adalah pembuat perbuatan dalam arti kata yang sesungguhnya. Terhadap
pendapatnya ini, lalu dia di kritik orang, bahwa melakukan prbuatan yang
diciptakan Tuhan, lebih tepat dikatakan perbuatan manusia, akibat kritikan itu,
lalu ia menjadi ragu-ragu terhadap pendapatnya sendiri. Akhirnya ia mempunyai I
pendapat yang cendrung kepada anggapan bahwa daya manusia tidaklah efektif
dalam mewujudkan perbuatannya, sebagaimana halnya juga pendapat Al-Asy’ari.
c. Kehendak
dan kekuasaan Tuhan
Menurut bazdawi, Tuhan mempunyai
kekuasaan mutlak, ia bebas melakukan apa saja yang di Kehendaki-Nya, tidak ada
yang bisa menentang, memaksa ataupun melarang-Nya. Namun demikian, kehendak dan
kekuasaan Tuhan menurut faham Bazdawi tidaklah semutlak apa yang terdapat dalam
faham Asy’ari. Bazdawi menjelaskan bahwa tidak mungkin Tuhan melanggar
janji-Nya untuk memberi pahala bagi yang berbuat baik, tetapi sebaliknya, bukan
tidak mungkin Tuhan membatalkan ancaman untuk memberi hukuman kepada orang yang
berbuat jahat.
BAB
III
PENUTUP
3.1 Kesimpulan
Aliran asy’ariah dibangun oleh Abu hasan Ali bin isma’il
Al-Asy’ari (873-935 M) dalam ilmu kalam, aliran ini sering disebut sebagai
aliran tradisonal. pada mulanya al-juba’i adalah sorang tokoh mu’tazilah
sehingga menurut al-Husain Ibn Muhammad al-’askari, aljubbai berani
mempercayakan perdebatan dengan lawan kepada al-’asyari. hal ini memperlihatkan
bahwa al-asy’ari adalah seorang yang
pada mulanya penganut mu’tazilah yang tangguh, sehingga ia mendapat perintah
dan kepercayaan untuk berdebat dengan orang-orang yang merupakan lawan
mu’tazilah.Al asy’ari berpendapat bahwa Allah memang memiliki sifat-sifat itu
(berbeda dengan mu’tazilah) namun tidak boleh diartikan secara harfiah. Selanjutnya
Al asy’ari berpendapat bahwa sifat-sifat Allah itu unik, sehingga tidak dapat
dibandingkan dengan sifat-sifat manusia yang tampaknya mirip.
Aliran
maturidiyah lahir di Samarkand, pertengahan kedua dari abad IX M. pendirinya
adalah Abu Manshur Muhammad bin Muhammad bin Mahmud Almaturidi, di daerah
Maturid Samarqand, untuk melawan mazhab Mu’tazilah. Tokoh dari aliran
Al-Maturidiyah itu sendiri adalah al-Bazdawi, yang nama lengkapnya adalah Abu
al-Yusr Muhammad al-Bazdawi.
DAFTAR
PUSTAKA
Rozak, Abdul, Anwar, Rosihon, Ilmu
kalam, Bandung: Pustaka Setia. 2006.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar