“ALIRAN
ILMU KALAM MU’TAZILAH”
Makalah
Untuk
memenuhi tugas yang telah diberikan
Mata kuliah:
Ilmu Kalam
Dosen
Pengampu : Bapak Muhammad Nur Hadi, M.Pd.I
Oleh
Kelompok
I
Siti Nadhiroh (201386010040)
Dewi Annisa Rochma
(201386010046)
Mahfudotul Islamiyah
(201386010050)
Ria Utami (201386010060)
FAKULTAS
AGAMA ISLAM
PRODI
PENDIDIKAN AGAMA ISLAM
UNIVERSITAS
YUDHARTA PASURUAN
2014
KATA PENGANTAR
Assalamu’alaikum
Wr.Wb
Alhamdulillahhirobil’alamin..
Puji syukur kehadirat Tuhan YME yang telah melimpahkan
rahmat,taufik, serta hidayah-nya. Sehingga kami dapat menyelesaikan makalah
“ALIRAN ILMU KALAM MU’TAZILAH”.
Dalam penyusunanya penulis memproleh banyak bantuan serta
dukungan dari berbagai pihak oleh karena itu penulis mengucapkan terimakasih
kepada Dosen Pengapu: Bapak Nurhadi, kepada orang tua,dan segenap keluarga
besar yang telah memberikan dorongan agar tetap maju,serta teman mahasiswa yang
telah memberikan semangat. Dari sanalah kesuksesan berawal,semoga semua ini
bisa memberiikan sedikit kebahagiaan dan menuntun pada langkah yang lebih baik
lagi.
Meskipun penulis berharap isi dari makalah ini bebas dari
kekurangan dan kesalahan, namun selalu ada yang kurang. Oleh karena itu,
penulis mengharapkan kritik yang membangun agar makalah ini dapat lebih baik
lagi. Akhir kata penulis berharap agar makalah ini bermanfaat bagi semua
pembaca.
Wasalamu’alaikum. Wr.wb.
Pasuruan , Oktober 2014
penyusun
|
DAFTAR
ISI
Kata
Pengantar............................................................................................................ .i
Daftar Isi..................................................................................................................... ii
BAB I
Pendahuluan..................................................................................................... 5
1.1 Latar
Belakang...................................................................................................... 5
1.2 Rumusan
Masalah.................................................................................................. 5
1.3 Tujuan................................................................................................................... 5
BAB II
Pembahasan.................................................................................................... 6
2.1 Pengertian
Mu’tazilah dan Sejarahnya..................................................................... 6
2.2 Ajaran
Aliran Mu’tazilah........................................................................................ 9
2.3 Aliran
Mu’tazilah.................................................................................................... 12
BAB III
Penutup.......................................................................................................... 13
3.1 Kesimpulan............................................................................................................ 13
Daftar
Pustaka............................................................................................................. 14
|
BAB I
PENDAHULUAN
1.1 Latar
Belakang
Ilmu
kalam biasa disebut dengan beberapa nama, antara lain ilmu ushuludin,
ilmutauhid, fiqh al-akbar, dan teologi islam. Disebut ilmu ushuluddin karena
ilmu ini membahas pokok-pokok agama (ushuludin), disebut ilmu tauhid karena
ilmu ini membahas keesaan Allah SWT.
Secara
historis ilmu kalam bersumber pada al-qur’an, hadits, pemikiran manusia, dan
instink. Ilmu kalam adalah sebuah ilmu yang mempunyai obyek tersendiri,
tersistematiskan, dan mempunyai metodologi tersendiri. Dikatakan oleh Musthafa
Abd Ar-Raziq bahwa ilmu ini bermula di tangan pemikir Mu’tazilah, Abu Hasyim,
dan kawannya Imam Al-Hasan bin Muhammad bin Hanafiyah.
Menurut
Harun Nasution, kemunculan persoalan kalam dipicu oleh persoalan politik. Harun
lebih lanjut melihat bahwa persoalan kalam yang pertama kali muncul adalah
persoalan siapa yang kafir dan siapa yang bukan kafir. Dalam arti siapa yang
telah keluar dari islam dan siapa yang masih tetap dalam islam.
Persoalan
ini telah menimbulkan tiga aliran teologi dalam islam yaitu: Aliran Khawarij,
Aliran Murji’ah, dan Aliran Mu’tazilah. Dan dengan itu makalah kami akan
menjelaskan mengenai Aliran Mu’tazilah.
1.2 Rumusan
Masalah
1.2.1
Apa pengertian Mu’tazilah dan bagaimana
sejarahnya?
1.2.2
Bagaimana pemikiran atau Ajaran aliran
Mu’tazilah?
1.2.3
Siapa tokoh dan apa aliran Mu’tazilah?
1.3 Tujuan
1.3.1
Agar mahasiswa mengerti apa yang dimaksud dengan
aliran mu’tazilah.
1.3.2
Agar mahasiswa mengetahui bagaimana asal-usul
aliran mu’tazilah.
1.3.3
Agar mahasiswa mengetahui bagaimana pemikiran
dalam aliran mu’tazilah tersebut.
1.3.4
Agar mahasiswa mengetahui siapa saja tokoh dalam
aliran mu’tazilah.
BAB II
PEMBAHASAN
2.1 Asal Kemunculan Mu’tazilah
Secara
harfiah kata Mu’tazilah berasal dari I’tazala yang berarti berpisah atau
memisahkan diri, yang berarti juga menjauh atau menjauhkan diri.[1]
Secra teknis, istilah Mu’tazilah menunjuk pada dua golongan.
Golongan
pertama (selanjutnya disebut Mu’tazilah I) muncul sebagai respon politik murni.
Golongan ini tumbuh sebagai kaum netral politik, khususnya dalam bersikap lunak
dalam menangani pertentangan antara Ali bin Abi Thalib dan lawan-lawannya,
terutama Mu’awiyah, Aisyah, dan Abdullah bin Zubair. Menurut penulis, golongan
inilah yang mula-mula disebut kaum Mu’tazilah karena mereka menjauhkan diri
dari pertikaian masalah khilafah. Kelompok ini bersifat netral politik tanpa
stigma teologis seperti yang ada pada kaum Mu’tazilah yang tumbuh di kemudian
hari.[2]
Golongan
kedua (selanjutnya disebut Mu’tazilah II) muncul sebagai respon persoalan
teologis yang berkembang dikalangan Khawarij dan Murji’ah akibat adanya
peristiwa tahkim. Golongan ini muncul karena mereka berbeda pendapat dengan
golongan Khawarij dan Murji’ah tentang pemberian status kafir kepada orang yang
berbuat dosa besar. Mu’tazilah II inilah yang akan dikaji. Beberapa versi
tentang pemberian nama Mu’tazilah kepada golongan kedua ini berpusat pada
peristiwa yang terjadi antara Wasil bin Ata serta temannya, Amr bin ubaid, dan
hasan al-basri di basrah. Ketika wasil mengikuti pelajaran yang diberikan oleh
hasan al basri dimesjid basrah, datanglah seseorang yang bertanya mengenai
pendapat hasan al-basri tentang orang yang berdosa besar. Ketika hasan al-basri
masih berpikir, wasil mengemukakan pendapatnya dengan mengatakan. “saya
berpendapat bahwa orang yang berbuat dosa besar bukanlah mukmin dan bukan pula
kafir, tetapi berada pada posisi diantara keduanya, tidak mukmin dan tidak
kafir.” Kemudian wasil menjauhkan diri dari Hasan Al-Basri dan pergi ke tempat
lain di lingkungan mesjid. Di sana
Wasil mengulangi pendapatnya di hadapan para pengikutnya. Dengan adanya
peristiwa ini, Hasan Al-Basri berkata “Wasil menjauhkan diri dari kita
(I’tazaala anna).” Menurut asy-syahrastani, kelompok yang memisahkan diri pada
peristiwa inilah yang disebut kaum Mu’tazilah.[3]
Versi
lain dikemukakan oleh Al-Baghdadi. Ia mengatakan bahwa Wasil dan temannya, Amr
bin Ubaid bin Bab, diusir oleh Hasan Al-Basri dari majelisnya karena ada
pertikaian diantara mereka tentang masalah qadar dan orang yang berdosa besar.
Keduanya menjauhkan diri dari Hasan Al-Basri dan berpendapat bahwa orang yang
berdosa besar itu tidak mukmindan tidak pula kafir. Oleh karena itu , golongan
in dinamakan Mu’tazilah.
Versi
lain dikemukakan Tasy Kubra Zadah yang menyatakan bahwa Qatadah bin Dama’ah
pada suatu hari masuk mesjid Basrah dan bergabung dengan majelis Amr bin Ubaid
yang disangkanya adalah majelis Hasan Al-Basri. Setelah mengetahuinya bahwa
majelis tersebut bukan majelis Hasan
Al-Basri, ia berdiri dan
meninggalkan tempat sambil berkata, “ini kaum Mu’tazila.” Sejak itulah kaum
tersebut dinamakan Mu’tazilah.[4]
Al-Mas’udi
memberikan keterangan tentang asal-usul kemunculan Mu’tazilah tanpa
menyangkut-pautkannya dengan peristiwa antara Wasil dan Hasan Al-Basri. Mereka
diberi nama Mu’tazilah, katanya karena berpendapat bahwa orang yang berdosa
bukanlah mukmin dan bukan pula kafir, tetapi menduduki tempat diantara kafir
dan mukmin (al manzilah bain al-manzilatain).[5]
Dalam artian mereka member status orang yang berbuat dosa besar itu jauh dari
golongan mukmin dan kafir.
Teori
baru yang dikemukakan oleh Ahmad Amin, menerangkan bahwa nama Mu’tazilah sudah
terdapat sebelum adanya peristiwa Wasil dan Hasan Al-Basri dan sebelum
timbulnya pendapat tentang posisi diantara dua posisi. Nama Mu’tazilah
diberikan kepada orang yang tidak mau berintervensi dlam pertikaian politik
yang terjadi pada zaman Usman bin Affan dan Ali bin Abi Thalib. Ia menjumpai
pertikaian disana, satu golongan mengikuti pertikaian itu, sedangkan golongan
lain menjauhkan diri ke Kharbita (I’tazalat ila kharbita). Oleh karena
itu,dalam surat
yang dikirimnya kepada Ali bin Abi Thalib, Qais menamai golongan yang
menjauhkan diri dengan Mu’tazilin, sedang Abu Al-Fida menamainya dengan
Mu’tazilah.[6]
Dengan
demikian kata I’tazala dan Mu’tazilah telah dipakai kira-kira seratus tahun
sebelum peristiwa Wasil dengan Hasan Al-Basri yeng mengandung arti golongan
yang tidak mau ikut campur dalam pertikaian politik yang terjadi pada zamannya.[7]
C.A
Nallino, seseorang oreintalis Itali mengemukakan pendapat yang hampir sama
dengan Ahmad Amin dan selaras dengan Mas’udi. Ia berpendapat bahwa nama
Mu’tazilah sebenarnya bukan berarti “memisahkan dari umat Islam lainnya”
sebagaimana pendapat Asy-Syahrastani, Al-Baghdadi , dan Tasy Qubra Zadah. Nama
Mu’tazilah , diberikan kepada mereka karena mereka berdiri netral diantara
Khawarij dan Mujiah. Oleh karena itu, golongan Mu’tazilah II ini mempunyai
hubungan yang erat dengan Mu’tazilah I.[8]
Pendapat ini dibantah oleh Ali Sami An-Nasysyar mengatakan bahwa golongan Mu’tazilah II timbul
dari orang-orang yang mengasingkan diri untuk ilmu pengetahuan dan ibadah,
bukan dari golongan Mu’tazilah I yang disebut kaum netral politik.[9]
2.2
Al-Ushul Al-Khamsah (Lima
Ajaran Dasar Teologi Mu’tazilah)
Kelima
ajaran dasar Mu’tazilah yang tertuang dalam al-ushul al-khamsah yaitu:
1. At-Tauhid
At-Tauhid
(pengesaan Tuhan) merupakan prinsip utama dan intisari ajaran Mu’tazilah.
Sebenarnya, setiap mazhab teologis dalam islam memegang doktrin ini. Namun,
bagi Mu’tazilah tauhid memiliki arti yang spesifik. Tuhan harus disucikan dari
segala sesuatu yang dapat mengurangi arti kamahaesaan-Nya. Tuhanlah
satu-satunya yang Esa, yang unik dan tak ada satu pun yang menyamai-Nya. Oleh
karena itu, hanya dia-lah yang qadim. Bila ada yang qadim lebih dari satu, maka
telah terjadi ta’addud al-qudama (berbilangnya dzat yang tak berpermulaan).[10]
Untuk
memurnikan keesaan Tuhan (tansih), Mu’tazilah menolak konsep Tuhan memiliki
sifat-sifat, penggambaran fisik Tuhan, dan Tuhan dapat dilihat dengan mata
kepala. Mu’tazilah berpendapat bahwa Tuhan itu Esa, tak ada satu pun yang
menyerupai-Nya. Dia Maha melihat, mendengar, kuasa, mengetahui, dan sebagainya.
Namun mendengar, kuasa, mengetahui, dsb itu buksan sifat melainkan dzat-Nya.
Menurut mereka sifat adalah sesuatu yang melekat. Bila sifat Tuhan yang qadim ,
berarti ada dua yang qadim, yaitu dzat dan sifat-Nya. Wasil bin Ata, seperti
dikutip oleh Asy-Syahrastani mengatakan, “siapa yang mengtakan sifat yang qadim
berarti telah menduakan Tuhan.”[11]
Ini tidak dapat diterima karena merupakan perbuatan syirik.
Doktrin
tauhid Mu’tazilah lebih lanjut menjelaskan bahwa tidak ada satu pun yang dapat
menyamai Tuhan. Begitu pula sebaliknya, Tuhan tidak serupa dengan makhluk-Nya.
Tuhan adalah immateri. Oleh karena itu, tidak layak bagi-Nya setiap atribut
materi. Segala yang mengesankan adanya kejisiman Tuhan, bagi Mu’tazilah, tidak
dapat diterima oleh akal dan itu adalah mustahil. Mahasuci Tuhan dari
penyerupaan dengan yang diciptakan-Nya. Tegasnya, Mu’tazilah menolak
antropomorfisme.[12]
2. Al-Adl
Ajaran dasar Mu’tazilah
yang kedua adalah al-adl yang berarti Tuhan Maha Adil. Adil ini merupakan sifat
yang paling gambling untuk menunjukkan kesempurnaan. Karena Tuhan Maha
sempurna. Dia sudah pasti adil. Ajaran ini bertujuan ingin menempatkan Tuhan
benar-benaradil menurut sudut pandang manusia, karena alam semesta ini
sesungguhnya diciptakan untuk kepentingan manusia. Tuhan dipandang adil apabila
bertindak hanya yang baik (ash shalah) dan terbaik (al ashlah) dan bukan yang
tidak baik. Begitu pula Tuhan itu adil bila tidak melanggar janji-Nya.[13]
dengan demikian, Tuhan terikat dengan janjiNya.
Ajaran tentang keadilan
ini terkait erat dengan beberapa hal, antara lain: perbuatan manusia, berbuat
baik dan terbaik, dan mengutus rasul.
3. Al-Wa’d
wa al-Wa’id
Al-Wa’d wa al-Wa’id
berati janji dan ancaman. Tuhan yang Maha adil dan Maha bijaksana, tidaka akan
melanggar janji-Nya. Perbuatan Tuhan terikat dan dibatasi oleh janji-Nya
sendiri, yaitu memberi pahala surga bagi yang berbuat baik (al-muthi) dan
mengancam dengan siksa mereka atas orang yang durhaka (al-ashi). Begitu pula
janji Tuhan untuk member pengampunan pada orang yang bertobat nasuha pasti
benar adanya.[14]
ini sesuai dengan prinsip keadilan. Jelasnya, siapapun berbuat baik akan
dibalas dengan kebaikan, siapapun berbuat jahat akan dibalasnya dengan siksa
yang sangat pedih.
Ajaran ketiga ini tidak
memberi peluang bagi Tuhan, selain menunaikan janji-Nya, yaitu member pahala orang
yang taat dan menyiksa orang yang berbuat maksiat, kecuali orang yang sudah
bertobat nasuha . tidak ada harapan bagi pendurhaka kecuai bila ia tobat.
Kejahatan dan kedurhakaan yang menyebabkan pelakunya masuk neraka adalah
kejahatan yang termasuk dosa besar, sedangkan terhadap dosa kecil, Tuhan
mungkin mengampuninya.[15]
ajaran ini tampaknya bertujuan mendorong manusia berbuat baik dan tidak
melakukan perbuatan dosa.
4. Al-Manzilah
bain al-manzilatain
Inilah ajaran yang
mula-mula menyebabkan lahirnya mazhab Mu’tazilah. Ajaran ini terkenal dengan
status orang beriman (mukmin) yang melakukan dosa besar. Seperti tercatat dalam
sejarah, khawarij menganggap orang tersebut sebagai orang kafir bahkan musyik,
sedangkan Murji’ah berpendapat bahwa orang itu tetap mukmin dan dosanya
sepenuhnya diserahkan kepada Tuhan. Boleh jadi dosa tersebut diampuni Tuhan.
Adapun pendapat Wasil bin Ata (pendiri mazhab Mu’tazilah) lain lagi.
Menurutnya, orang tersebut berada si antara dua posisi (al-manzilah bain
al-manzilatain). Karena ajaran inilah, Wasil bin Ata dan sahabatnya Amir bin
Ubaid harus memisahkan diri (I’tizal) dari majelis gurunya, Hasan AL-Basri.
Berawal dari ajaran itulah dia membangun mazhabnya.
Menurut pandangan
Mu’tazilah, pelaku dosa besar tidak dapat dikatakan sebagai mukmin mutlak. Hal
ini karena keimanan menuntut adanya kepatuhan kepada Tuhan, tidak cukup hanya
pengakuan dan pembenaran. Berdosa besar bukanlah kepatuhan melainkan
kedurhakaan. Pelakunya tidak dapat dikataka kafir secara mutlak karena ia masih
percayakepada Tuhan, rasul-Nya, dan mengerjakan pekerjaan yang baik. Hanya saja
kalau meninggal sebelum bertobat,ia dimasukkan ke neraka dan kekal di dalamnya.
Orang mukmin masuk surga dan orang kafir masuk neraka. Orang fasik pun
dimasukkan ke neraka, hanya saja siksaannya lebih ringan dari pada orang kafir.[16]
mengapa ia tidak dimaukkan ke surge dengan “kelas” yang lebih rendah dari
mukmin sejati? Tampaknya di sini Mu’tazilah ingin mendorong agar manusia tidak
menyepelekan perbuatan dosa, terutama dosa besar.
5. Al-Amr
bi Al-Ma’ruf wa An-Nahy an Munkar
Ajaran dasar yang kelima
adalah menyuruh kebajikan dan melarang kemunkaran. Ajaran ini menekankan
keberpihakkan kepada kebenaran dan kebaikan. Ini merupakan konsekuensi logis
dari keimanan seseorang. Pengakuan keimanan harus dibuktikan dengan perbuatan
baik, diantaranya dengan menyuruh orang berbuat baik dan mencegahnya dari
kejahatan.
Perbedaan mazhab
Mu’tazilah dengan mazhab lain mengenai ajaran kelima ini terletak pada tatanan
pelaksanaannya. Menurut Mu’tazilah, jika memang diperlukan, kekerasan dapat
ditempuh untuk mewujudkan ajaran tersebut. Sejarah pun telah mencatat kekerasan
yang pernah dilakukannya ketika menyiarkan ajaran-ajarannya.[17]
2.3 Aliran Mu’tazilah
Kemunculan
aliran mu’tazilah dalam pemikiran teologi Islam diawali oleh masalah yaitu
mengenai status pelaku dosa besar, apakah masih beriman atau telah menjadi
kafir. Perbedaannya, bila Khawarij mengafirkan pelaku dosa besar dan Murji’ah
memelihara keimanan pelaku dosa besar, Mu’tazilah tidak menentukan status dan
predikat yang pasti bagi pelaku dosa besar, apakah ia tetap mmukmin atau kafir,
kecuali dengan sebutan yang sangat terkenal , yaitu al-manzilah bain
al-manzilatain. Setiap pelaku dosa besar, menurut Mu’tazilah, berada di posisi
tengah di antara posisi mukmin dan kafir.
Mengenai
perbuatan apa saja yang dikategorikan sebagai dosa besar, aliran Mu’tazilah
merumuskan secara lebih konseptual ketimbang aliran Khawarij. Yang dimaksud
dengan dosa besar menurut pandangan Mu’tazilah adalah segala perbuatan yang
ancamannya disebutkan secara tegas dalam nas, sedangkan dosa kecil adalah
sebaliknya, yaitu segala ketidakpatuhan yang ancamannya tidak tegas dalam nas.[18]
Tampaknya Mu’tazilah menjadikan ancaman sebagai criteria dasar bagi dosa besar
maupun kecil.
BAB III
PENUTUP
3.1 Kesimpulan
Kemunculan
aliran mu’tazilah dalam pemikiran teologi Islam diawali oleh masalah yaitu
mengenai status pelaku dosa besar, apakah masih beriman atau telah menjadi
kafir.
Kelima
ajaran dasar Mu’tazilah dalam al-ushul al-khamsah adalah at-tauhid (pengesaan
Tuhan), al-adl (keadilan Tuhan), al-waad wa al-wa’id (janji dan ancaman Tuhan),
al-manzilah bain al-manzilatain (posisi diantara dua posisi), al-amr bi
al-ma’ruf wa al-nahy an al-munkar (menyeru kepada kebaikan dan mencegah
kemunkaran).
Wasil
bin Atha dan Amr bin Ubaid adalah sebagian tokoh dari aliran Mu’tazilah.
DAFTAR
PUSTAKA
Dr.Abdul Rozak, Dr. Rosihon Anwar, Ilmu
Kalam, Bandung,
CV.Pustaka Setia, hlm.77-87.2001
Dr.Abdul Rozak, Dr. Rosihon Anwar, Ilmu
Kalam, Bandung,
CV.Pustaka Setia, hlm.137.2001
[1]
Luwis Ma’luf, Al-Munjidfi Al-Lughah, Darul Kitab Al-Arabi,cct.X,
Beirut,t.t., hlm.207
[2]
Nurcholis Madjid, Islam Doktrin dan Peradaban, Yayasan Wakaf Paramadina,
Jakarta,
1995,cct. II, hlm.17.
[3]
Muhammad bin Abd Al-Karim Asy-Syahrastani. Al-Milal wa An-Nihal.
Tp.,Kairo 1951, hlm.48.
[4]
Ahmad MahmudSubhi, Fi’Ilm Al-Kalam,ttp.,Kairo, 1969,hlm.75.
[5] Ibid.,
hlm.76.
[6]
Ahmad Amin, Fajr Al-Islam, An-Nahdah Kairo. 1965.hlm.290
[7]
Harun Nasution, Teologi Islam Aliran-aliran Sejarah. Analisa Perbandingan,
UI Press,Jakarta,
1986.
[8]
Abd Ar-Rahman Badawi , At-Turas Al-Yunani fi Al-Hadarah Al-Islamiya,
ttp., Kairo,1965,hlm.185.
[9]
Al-Nasysyar, Nisy’ah Al-Fikr Al-Falsafi fi Al-Islam, (Kairo;tp.
1966),jilid I, hlm. 429-430.
[10]
Abd Al-Jabbar bin Ahmad, Syarh Al-Ushul Al-Khamsah. Maktab Wahbah.
Kairo. 1965.hlm.196.
[11]
Abi Al-Fath Muhammad Abd Al-Karim Asy-Syahrastani, Al-Milal wa An-Nahl,
Dar Al-Fikr,Bcirut,t,t, hlm.46.
[12]
Al-Jabbar, op.cit.,hlm.217.
[13]
Al-Jabbar, op.cit.,hlm.227.
[14]
Ibid. hlm.138-139.
[15]
Houstsma, op.cit., hlm.792.
[16]
Syahrastani, op.cit., hlm.48.
[17]
Nasution, op.cit., hlm.56.
[18]
Al-Asy’ari, op.cit.,hlm.270-271.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar