Perbandingan pendidikan

Jumat, 24 Oktober 2014

aliran ilmu kalam klasik "Mu'tazilah"


“ALIRAN ILMU KALAM MU’TAZILAH”
Makalah
Untuk memenuhi tugas yang telah diberikan
Mata kuliah: Ilmu Kalam
Dosen Pengampu : Bapak Muhammad Nur Hadi, M.Pd.I



 






Oleh
Kelompok I
Siti Nadhiroh (201386010040)
Dewi Annisa Rochma (201386010046)
Mahfudotul Islamiyah (201386010050)
Ria Utami (201386010060)



FAKULTAS AGAMA ISLAM
PRODI PENDIDIKAN AGAMA ISLAM
UNIVERSITAS YUDHARTA PASURUAN
2014








KATA PENGANTAR

Assalamu’alaikum Wr.Wb
          Alhamdulillahhirobil’alamin..
Puji syukur kehadirat Tuhan YME yang telah melimpahkan rahmat,taufik, serta hidayah-nya. Sehingga kami dapat menyelesaikan makalah “ALIRAN ILMU KALAM MU’TAZILAH”.
Dalam penyusunanya penulis memproleh banyak bantuan serta dukungan dari berbagai pihak oleh karena itu penulis mengucapkan terimakasih kepada Dosen Pengapu: Bapak Nurhadi, kepada orang tua,dan segenap keluarga besar yang telah memberikan dorongan agar tetap maju,serta teman mahasiswa yang telah memberikan semangat. Dari sanalah kesuksesan berawal,semoga semua ini bisa memberiikan sedikit kebahagiaan dan menuntun pada langkah yang lebih baik lagi.
Meskipun penulis berharap isi dari makalah ini bebas dari kekurangan dan kesalahan, namun selalu ada yang kurang. Oleh karena itu, penulis mengharapkan kritik yang membangun agar makalah ini dapat lebih baik lagi. Akhir kata penulis berharap agar makalah ini bermanfaat bagi semua pembaca.
Wasalamu’alaikum. Wr.wb.



Pasuruan , Oktober  2014

penyusun



 
 


DAFTAR ISI
Kata Pengantar............................................................................................................ .i
Daftar Isi..................................................................................................................... ii
BAB I Pendahuluan..................................................................................................... 5
1.1 Latar Belakang...................................................................................................... 5
1.2 Rumusan Masalah.................................................................................................. 5
1.3 Tujuan................................................................................................................... 5
BAB II Pembahasan.................................................................................................... 6
2.1 Pengertian Mu’tazilah dan Sejarahnya..................................................................... 6
2.2 Ajaran Aliran Mu’tazilah........................................................................................ 9
2.3 Aliran Mu’tazilah.................................................................................................... 12
BAB III Penutup.......................................................................................................... 13
3.1 Kesimpulan............................................................................................................ 13
Daftar Pustaka............................................................................................................. 14









 
 

BAB I
PENDAHULUAN
1.1  Latar Belakang
Ilmu kalam biasa disebut dengan beberapa nama, antara lain ilmu ushuludin, ilmutauhid, fiqh al-akbar, dan teologi islam. Disebut ilmu ushuluddin karena ilmu ini membahas pokok-pokok agama (ushuludin), disebut ilmu tauhid karena ilmu ini membahas keesaan Allah SWT.
Secara historis ilmu kalam bersumber pada al-qur’an, hadits, pemikiran manusia, dan instink. Ilmu kalam adalah sebuah ilmu yang mempunyai obyek tersendiri, tersistematiskan, dan mempunyai metodologi tersendiri. Dikatakan oleh Musthafa Abd Ar-Raziq bahwa ilmu ini bermula di tangan pemikir Mu’tazilah, Abu Hasyim, dan kawannya Imam Al-Hasan bin Muhammad bin Hanafiyah.
Menurut Harun Nasution, kemunculan persoalan kalam dipicu oleh persoalan politik. Harun lebih lanjut melihat bahwa persoalan kalam yang pertama kali muncul adalah persoalan siapa yang kafir dan siapa yang bukan kafir. Dalam arti siapa yang telah keluar dari islam dan siapa yang masih tetap dalam islam.
Persoalan ini telah menimbulkan tiga aliran teologi dalam islam yaitu: Aliran Khawarij, Aliran Murji’ah, dan Aliran Mu’tazilah. Dan dengan itu makalah kami akan menjelaskan mengenai Aliran Mu’tazilah.

1.2  Rumusan Masalah
1.2.1        Apa pengertian Mu’tazilah dan bagaimana sejarahnya?
1.2.2        Bagaimana pemikiran atau Ajaran aliran Mu’tazilah?
1.2.3        Siapa tokoh dan apa  aliran Mu’tazilah?

1.3  Tujuan
1.3.1        Agar mahasiswa mengerti apa yang dimaksud dengan aliran mu’tazilah.
1.3.2        Agar mahasiswa mengetahui bagaimana asal-usul aliran mu’tazilah.
1.3.3        Agar mahasiswa mengetahui bagaimana pemikiran dalam aliran mu’tazilah tersebut.
1.3.4        Agar mahasiswa mengetahui siapa saja tokoh dalam aliran mu’tazilah.



BAB II
PEMBAHASAN

2.1 Asal Kemunculan Mu’tazilah
Secara harfiah kata Mu’tazilah berasal dari I’tazala yang berarti berpisah atau memisahkan diri, yang berarti juga menjauh atau menjauhkan diri.[1] Secra teknis, istilah Mu’tazilah menunjuk pada dua golongan.
Golongan pertama (selanjutnya disebut Mu’tazilah I) muncul sebagai respon politik murni. Golongan ini tumbuh sebagai kaum netral politik, khususnya dalam bersikap lunak dalam menangani pertentangan antara Ali bin Abi Thalib dan lawan-lawannya, terutama Mu’awiyah, Aisyah, dan Abdullah bin Zubair. Menurut penulis, golongan inilah yang mula-mula disebut kaum Mu’tazilah karena mereka menjauhkan diri dari pertikaian masalah khilafah. Kelompok ini bersifat netral politik tanpa stigma teologis seperti yang ada pada kaum Mu’tazilah yang tumbuh di kemudian hari.[2]
Golongan kedua (selanjutnya disebut Mu’tazilah II) muncul sebagai respon persoalan teologis yang berkembang dikalangan Khawarij dan Murji’ah akibat adanya peristiwa tahkim. Golongan ini muncul karena mereka berbeda pendapat dengan golongan Khawarij dan Murji’ah tentang pemberian status kafir kepada orang yang berbuat dosa besar. Mu’tazilah II inilah yang akan dikaji. Beberapa versi tentang pemberian nama Mu’tazilah kepada golongan kedua ini berpusat pada peristiwa yang terjadi antara Wasil bin Ata serta temannya, Amr bin ubaid, dan hasan al-basri di basrah. Ketika wasil mengikuti pelajaran yang diberikan oleh hasan al basri dimesjid basrah, datanglah seseorang yang bertanya mengenai pendapat hasan al-basri tentang orang yang berdosa besar. Ketika hasan al-basri masih berpikir, wasil mengemukakan pendapatnya dengan mengatakan. “saya berpendapat bahwa orang yang berbuat dosa besar bukanlah mukmin dan bukan pula kafir, tetapi berada pada posisi diantara keduanya, tidak mukmin dan tidak kafir.” Kemudian wasil menjauhkan diri dari Hasan Al-Basri dan pergi ke tempat lain di lingkungan mesjid. Di sana Wasil mengulangi pendapatnya di hadapan para pengikutnya. Dengan adanya peristiwa ini, Hasan Al-Basri berkata “Wasil menjauhkan diri dari kita (I’tazaala anna).” Menurut asy-syahrastani, kelompok yang memisahkan diri pada peristiwa inilah yang disebut kaum Mu’tazilah.[3]
Versi lain dikemukakan oleh Al-Baghdadi. Ia mengatakan bahwa Wasil dan temannya, Amr bin Ubaid bin Bab, diusir oleh Hasan Al-Basri dari majelisnya karena ada pertikaian diantara mereka tentang masalah qadar dan orang yang berdosa besar. Keduanya menjauhkan diri dari Hasan Al-Basri dan berpendapat bahwa orang yang berdosa besar itu tidak mukmindan tidak pula kafir. Oleh karena itu , golongan in dinamakan Mu’tazilah.
Versi lain dikemukakan Tasy Kubra Zadah yang menyatakan bahwa Qatadah bin Dama’ah pada suatu hari masuk mesjid Basrah dan bergabung dengan majelis Amr bin Ubaid yang disangkanya adalah majelis Hasan Al-Basri. Setelah mengetahuinya bahwa majelis tersebut bukan majelis Hasan Al-Basri, ia berdiri dan meninggalkan tempat sambil berkata, “ini kaum Mu’tazila.” Sejak itulah kaum tersebut dinamakan Mu’tazilah.[4]
Al-Mas’udi memberikan keterangan tentang asal-usul kemunculan Mu’tazilah tanpa menyangkut-pautkannya dengan peristiwa antara Wasil dan Hasan Al-Basri. Mereka diberi nama Mu’tazilah, katanya karena berpendapat bahwa orang yang berdosa bukanlah mukmin dan bukan pula kafir, tetapi menduduki tempat diantara kafir dan mukmin (al manzilah bain al-manzilatain).[5] Dalam artian mereka member status orang yang berbuat dosa besar itu jauh dari golongan mukmin dan kafir.
Teori baru yang dikemukakan oleh Ahmad Amin, menerangkan bahwa nama Mu’tazilah sudah terdapat sebelum adanya peristiwa Wasil dan Hasan Al-Basri dan sebelum timbulnya pendapat tentang posisi diantara dua posisi. Nama Mu’tazilah diberikan kepada orang yang tidak mau berintervensi dlam pertikaian politik yang terjadi pada zaman Usman bin Affan dan Ali bin Abi Thalib. Ia menjumpai pertikaian disana, satu golongan mengikuti pertikaian itu, sedangkan golongan lain menjauhkan diri ke Kharbita (I’tazalat ila kharbita). Oleh karena itu,dalam surat yang dikirimnya kepada Ali bin Abi Thalib, Qais menamai golongan yang menjauhkan diri dengan Mu’tazilin, sedang Abu Al-Fida menamainya dengan Mu’tazilah.[6]
Dengan demikian kata I’tazala dan Mu’tazilah telah dipakai kira-kira seratus tahun sebelum peristiwa Wasil dengan Hasan Al-Basri yeng mengandung arti golongan yang tidak mau ikut campur dalam pertikaian politik yang terjadi pada zamannya.[7]
C.A Nallino, seseorang oreintalis Itali mengemukakan pendapat yang hampir sama dengan Ahmad Amin dan selaras dengan Mas’udi. Ia berpendapat bahwa nama Mu’tazilah sebenarnya bukan berarti “memisahkan dari umat Islam lainnya” sebagaimana pendapat Asy-Syahrastani, Al-Baghdadi , dan Tasy Qubra Zadah. Nama Mu’tazilah , diberikan kepada mereka karena mereka berdiri netral diantara Khawarij dan Mujiah. Oleh karena itu, golongan Mu’tazilah II ini mempunyai hubungan yang erat dengan Mu’tazilah I.[8] Pendapat ini dibantah oleh Ali Sami An-Nasysyar  mengatakan bahwa golongan Mu’tazilah II timbul dari orang-orang yang mengasingkan diri untuk ilmu pengetahuan dan ibadah, bukan dari golongan Mu’tazilah I yang disebut kaum netral politik.[9]





2.2 Al-Ushul Al-Khamsah (Lima Ajaran Dasar Teologi Mu’tazilah)
Kelima ajaran dasar Mu’tazilah yang tertuang dalam al-ushul al-khamsah yaitu:

1.    At-Tauhid
At-Tauhid (pengesaan Tuhan) merupakan prinsip utama dan intisari ajaran Mu’tazilah. Sebenarnya, setiap mazhab teologis dalam islam memegang doktrin ini. Namun, bagi Mu’tazilah tauhid memiliki arti yang spesifik. Tuhan harus disucikan dari segala sesuatu yang dapat mengurangi arti kamahaesaan-Nya. Tuhanlah satu-satunya yang Esa, yang unik dan tak ada satu pun yang menyamai-Nya. Oleh karena itu, hanya dia-lah yang qadim. Bila ada yang qadim lebih dari satu, maka telah terjadi ta’addud al-qudama (berbilangnya dzat yang tak berpermulaan).[10]
Untuk memurnikan keesaan Tuhan (tansih), Mu’tazilah menolak konsep Tuhan memiliki sifat-sifat, penggambaran fisik Tuhan, dan Tuhan dapat dilihat dengan mata kepala. Mu’tazilah berpendapat bahwa Tuhan itu Esa, tak ada satu pun yang menyerupai-Nya. Dia Maha melihat, mendengar, kuasa, mengetahui, dan sebagainya. Namun mendengar, kuasa, mengetahui, dsb itu buksan sifat melainkan dzat-Nya. Menurut mereka sifat adalah sesuatu yang melekat. Bila sifat Tuhan yang qadim , berarti ada dua yang qadim, yaitu dzat dan sifat-Nya. Wasil bin Ata, seperti dikutip oleh Asy-Syahrastani mengatakan, “siapa yang mengtakan sifat yang qadim berarti telah menduakan Tuhan.”[11] Ini tidak dapat diterima karena merupakan perbuatan syirik.
Doktrin tauhid Mu’tazilah lebih lanjut menjelaskan bahwa tidak ada satu pun yang dapat menyamai Tuhan. Begitu pula sebaliknya, Tuhan tidak serupa dengan makhluk-Nya. Tuhan adalah immateri. Oleh karena itu, tidak layak bagi-Nya setiap atribut materi. Segala yang mengesankan adanya kejisiman Tuhan, bagi Mu’tazilah, tidak dapat diterima oleh akal dan itu adalah mustahil. Mahasuci Tuhan dari penyerupaan dengan yang diciptakan-Nya. Tegasnya, Mu’tazilah menolak antropomorfisme.[12]

2.    Al-Adl
Ajaran dasar Mu’tazilah yang kedua adalah al-adl yang berarti Tuhan Maha Adil. Adil ini merupakan sifat yang paling gambling untuk menunjukkan kesempurnaan. Karena Tuhan Maha sempurna. Dia sudah pasti adil. Ajaran ini bertujuan ingin menempatkan Tuhan benar-benaradil menurut sudut pandang manusia, karena alam semesta ini sesungguhnya diciptakan untuk kepentingan manusia. Tuhan dipandang adil apabila bertindak hanya yang baik (ash shalah) dan terbaik (al ashlah) dan bukan yang tidak baik. Begitu pula Tuhan itu adil bila tidak melanggar janji-Nya.[13] dengan demikian, Tuhan terikat dengan janjiNya.
Ajaran tentang keadilan ini terkait erat dengan beberapa hal, antara lain: perbuatan manusia, berbuat baik dan terbaik, dan mengutus rasul.

3.    Al-Wa’d wa al-Wa’id
Al-Wa’d wa al-Wa’id berati janji dan ancaman. Tuhan yang Maha adil dan Maha bijaksana, tidaka akan melanggar janji-Nya. Perbuatan Tuhan terikat dan dibatasi oleh janji-Nya sendiri, yaitu memberi pahala surga bagi yang berbuat baik (al-muthi) dan mengancam dengan siksa mereka atas orang yang durhaka (al-ashi). Begitu pula janji Tuhan untuk member pengampunan pada orang yang bertobat nasuha pasti benar adanya.[14] ini sesuai dengan prinsip keadilan. Jelasnya, siapapun berbuat baik akan dibalas dengan kebaikan, siapapun berbuat jahat akan dibalasnya dengan siksa yang sangat pedih.
Ajaran ketiga ini tidak memberi peluang bagi Tuhan, selain menunaikan janji-Nya, yaitu member pahala orang yang taat dan menyiksa orang yang berbuat maksiat, kecuali orang yang sudah bertobat nasuha . tidak ada harapan bagi pendurhaka kecuai bila ia tobat. Kejahatan dan kedurhakaan yang menyebabkan pelakunya masuk neraka adalah kejahatan yang termasuk dosa besar, sedangkan terhadap dosa kecil, Tuhan mungkin mengampuninya.[15] ajaran ini tampaknya bertujuan mendorong manusia berbuat baik dan tidak melakukan perbuatan dosa.  

4.    Al-Manzilah bain al-manzilatain
Inilah ajaran yang mula-mula menyebabkan lahirnya mazhab Mu’tazilah. Ajaran ini terkenal dengan status orang beriman (mukmin) yang melakukan dosa besar. Seperti tercatat dalam sejarah, khawarij menganggap orang tersebut sebagai orang kafir bahkan musyik, sedangkan Murji’ah berpendapat bahwa orang itu tetap mukmin dan dosanya sepenuhnya diserahkan kepada Tuhan. Boleh jadi dosa tersebut diampuni Tuhan. Adapun pendapat Wasil bin Ata (pendiri mazhab Mu’tazilah) lain lagi. Menurutnya, orang tersebut berada si antara dua posisi (al-manzilah bain al-manzilatain). Karena ajaran inilah, Wasil bin Ata dan sahabatnya Amir bin Ubaid harus memisahkan diri (I’tizal) dari majelis gurunya, Hasan AL-Basri. Berawal dari ajaran itulah dia membangun mazhabnya.
Menurut pandangan Mu’tazilah, pelaku dosa besar tidak dapat dikatakan sebagai mukmin mutlak. Hal ini karena keimanan menuntut adanya kepatuhan kepada Tuhan, tidak cukup hanya pengakuan dan pembenaran. Berdosa besar bukanlah kepatuhan melainkan kedurhakaan. Pelakunya tidak dapat dikataka kafir secara mutlak karena ia masih percayakepada Tuhan, rasul-Nya, dan mengerjakan pekerjaan yang baik. Hanya saja kalau meninggal sebelum bertobat,ia dimasukkan ke neraka dan kekal di dalamnya. Orang mukmin masuk surga dan orang kafir masuk neraka. Orang fasik pun dimasukkan ke neraka, hanya saja siksaannya lebih ringan dari pada orang kafir.[16] mengapa ia tidak dimaukkan ke surge dengan “kelas” yang lebih rendah dari mukmin sejati? Tampaknya di sini Mu’tazilah ingin mendorong agar manusia tidak menyepelekan perbuatan dosa, terutama dosa besar.
5.    Al-Amr bi Al-Ma’ruf wa An-Nahy an Munkar
Ajaran dasar yang kelima adalah menyuruh kebajikan dan melarang kemunkaran. Ajaran ini menekankan keberpihakkan kepada kebenaran dan kebaikan. Ini merupakan konsekuensi logis dari keimanan seseorang. Pengakuan keimanan harus dibuktikan dengan perbuatan baik, diantaranya dengan menyuruh orang berbuat baik dan mencegahnya dari kejahatan.
Perbedaan mazhab Mu’tazilah dengan mazhab lain mengenai ajaran kelima ini terletak pada tatanan pelaksanaannya. Menurut Mu’tazilah, jika memang diperlukan, kekerasan dapat ditempuh untuk mewujudkan ajaran tersebut. Sejarah pun telah mencatat kekerasan yang pernah dilakukannya ketika menyiarkan ajaran-ajarannya.[17]

2.3 Aliran Mu’tazilah
Kemunculan aliran mu’tazilah dalam pemikiran teologi Islam diawali oleh masalah yaitu mengenai status pelaku dosa besar, apakah masih beriman atau telah menjadi kafir. Perbedaannya, bila Khawarij mengafirkan pelaku dosa besar dan Murji’ah memelihara keimanan pelaku dosa besar, Mu’tazilah tidak menentukan status dan predikat yang pasti bagi pelaku dosa besar, apakah ia tetap mmukmin atau kafir, kecuali dengan sebutan yang sangat terkenal , yaitu al-manzilah bain al-manzilatain. Setiap pelaku dosa besar, menurut Mu’tazilah, berada di posisi tengah di antara posisi mukmin dan kafir.
Mengenai perbuatan apa saja yang dikategorikan sebagai dosa besar, aliran Mu’tazilah merumuskan secara lebih konseptual ketimbang aliran Khawarij. Yang dimaksud dengan dosa besar menurut pandangan Mu’tazilah adalah segala perbuatan yang ancamannya disebutkan secara tegas dalam nas, sedangkan dosa kecil adalah sebaliknya, yaitu segala ketidakpatuhan yang ancamannya tidak tegas dalam nas.[18] Tampaknya Mu’tazilah menjadikan ancaman sebagai criteria dasar bagi dosa besar maupun kecil.




BAB III
PENUTUP

3.1 Kesimpulan
Kemunculan aliran mu’tazilah dalam pemikiran teologi Islam diawali oleh masalah yaitu mengenai status pelaku dosa besar, apakah masih beriman atau telah menjadi kafir.
Kelima ajaran dasar Mu’tazilah dalam al-ushul al-khamsah adalah at-tauhid (pengesaan Tuhan), al-adl (keadilan Tuhan), al-waad wa al-wa’id (janji dan ancaman Tuhan), al-manzilah bain al-manzilatain (posisi diantara dua posisi), al-amr bi al-ma’ruf wa al-nahy an al-munkar (menyeru kepada kebaikan dan mencegah kemunkaran).
Wasil bin Atha dan Amr bin Ubaid adalah sebagian tokoh dari aliran Mu’tazilah.






DAFTAR PUSTAKA

Dr.Abdul Rozak, Dr. Rosihon Anwar, Ilmu Kalam, Bandung, CV.Pustaka Setia, hlm.77-87.2001
Dr.Abdul Rozak, Dr. Rosihon Anwar, Ilmu Kalam, Bandung, CV.Pustaka Setia, hlm.137.2001




[1] Luwis Ma’luf, Al-Munjidfi Al-Lughah, Darul Kitab Al-Arabi,cct.X, Beirut,t.t., hlm.207

[2] Nurcholis Madjid, Islam Doktrin dan Peradaban, Yayasan Wakaf Paramadina, Jakarta, 1995,cct. II, hlm.17.
[3] Muhammad bin Abd Al-Karim Asy-Syahrastani. Al-Milal wa An-Nihal. Tp.,Kairo 1951, hlm.48.
[4] Ahmad MahmudSubhi, Fi’Ilm Al-Kalam,ttp.,Kairo, 1969,hlm.75.
[5] Ibid., hlm.76.
[6] Ahmad Amin, Fajr Al-Islam, An-Nahdah Kairo. 1965.hlm.290
[7] Harun Nasution, Teologi Islam Aliran-aliran Sejarah. Analisa Perbandingan, UI Press,Jakarta, 1986.
[8] Abd Ar-Rahman Badawi , At-Turas Al-Yunani fi Al-Hadarah Al-Islamiya, ttp., Kairo,1965,hlm.185.
[9] Al-Nasysyar, Nisy’ah Al-Fikr Al-Falsafi fi Al-Islam, (Kairo;tp. 1966),jilid I, hlm. 429-430.
[10] Abd Al-Jabbar bin Ahmad, Syarh Al-Ushul Al-Khamsah. Maktab Wahbah. Kairo. 1965.hlm.196.
[11] Abi Al-Fath Muhammad Abd Al-Karim Asy-Syahrastani, Al-Milal wa An-Nahl, Dar Al-Fikr,Bcirut,t,t, hlm.46.
[12] Al-Jabbar, op.cit.,hlm.217.
[13] Al-Jabbar, op.cit.,hlm.227.
[14] Ibid. hlm.138-139.
[15] Houstsma, op.cit., hlm.792.
[16] Syahrastani, op.cit., hlm.48.
[17] Nasution, op.cit., hlm.56.
[18] Al-Asy’ari, op.cit.,hlm.270-271.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar