ALIRAN KALAM
MODERN (GERAKAN PEMBAHARUAN DALAM ISLAM)
Untuk
memenuhi tugas yang telah diberikan
Mata kuliah:
Ilmu Kalam
Dosen
Pengampu : Bapak Muhammad Nur Hadi, M.Pd.I
Oleh
Kelompok 4
Zuhrotul aini (201386010035)
Fajar Novia
Husnanto (201386010059)
Miftahul jannah (201386010061)
M. Amir
hamzah (201386010056)
FAKULTAS
AGAMA ISLAM
PRODI
PENDIDIKAN AGAMA ISLAM
UNIVERSITAS
YUDHARTA PASURUAN
2014
KATA PENGANTAR
Assalamu’alaikum
Wr.Wb
Alhamdulillahhirobil’alamin..
Puji
syukur kehadirat Tuhan YME yang telah melimpahkan rahmat,taufik, serta
hidayah-nya. Sehingga kami dapat menyelesaikan makalah “ALIRAN KALAM MODERN
(GERAKAN PEMBAHARUAN DALAM ISLAM)”.
Dalam
penyusunanya penulis memproleh banyak bantuan serta dukungan dari berbagai
pihak oleh karena itu penulis mengucapkan terimakasih kepada Dosen Pengapu:
Bapak Nurhadi, kepada orang tua,dan segenap keluarga besar yang telah
memberikan dorongan agar tetap maju,serta teman mahasiswa yang telah memberikan
semangat. Dari sanalah kesuksesan berawal,semoga semua ini bisa memberiikan
sedikit kebahagiaan dan menuntun pada langkah yang lebih baik lagi.
Meskipun
penulis berharap isi dari makalah ini bebas dari kekurangan dan kesalahan,
namun selalu ada yang kurang. Oleh karena itu, penulis mengharapkan kritik yang
membangun agar makalah ini dapat lebih baik lagi. Akhir kata penulis berharap
agar makalah ini bermanfaat bagi semua pembaca.
Wasalamu’alaikum.
Wr.wb.
Pasuruan , Oktober 2014
penyusun
BAB
I
PENDAHULUAN
PENDAHULUAN
A.
Pendahuluan
Sebagai produk pemikiran manusia, wacana-wacana yang dihasilkan oleh aliran kalam, seperti halnya aliran pemikiran keislaman lainnya memiliki titik kelemahan dan perlu mendapat kritikan yang memadai dan konstruktif. Diskursus ketuhanan yang tidak menyentuh persoalan-persoalan riil manusia yang kurang mendapat perhatian dari ilmu kalam merupakan titik kelemahan yang banyakdisorot.
Berbincang kelemahan ilmu kalam paling tidak terdapat tiga hal yang pelu di koreksi, diantaranya kritik epistemologi yang berkisar pada cara yang digunakan oleh para pemuka aliran kalam menyelesaikan persoalan kalam, terutama ketika mereka menafsirkan Al Qur’an.
Selain aspek epistemologi, kritikan juga jatuh pada aspek Ontologi ilmu kalam yang hanya berkisar pada persoalan-persoalan ketuhanan dan yang berkaitan dengannya yang berkesan “mengawang-awang” dan jauh dari persoalan kehidupan manusia. Sedangkan kritik aspek Askiologi menyangkut pada kegunaan ilmu itu sendiri dalam menyingkap hakikat kebenaran yangtidakmenyentuhpadaranaempiris.
Sebagai produk pemikiran manusia, wacana-wacana yang dihasilkan oleh aliran kalam, seperti halnya aliran pemikiran keislaman lainnya memiliki titik kelemahan dan perlu mendapat kritikan yang memadai dan konstruktif. Diskursus ketuhanan yang tidak menyentuh persoalan-persoalan riil manusia yang kurang mendapat perhatian dari ilmu kalam merupakan titik kelemahan yang banyakdisorot.
Berbincang kelemahan ilmu kalam paling tidak terdapat tiga hal yang pelu di koreksi, diantaranya kritik epistemologi yang berkisar pada cara yang digunakan oleh para pemuka aliran kalam menyelesaikan persoalan kalam, terutama ketika mereka menafsirkan Al Qur’an.
Selain aspek epistemologi, kritikan juga jatuh pada aspek Ontologi ilmu kalam yang hanya berkisar pada persoalan-persoalan ketuhanan dan yang berkaitan dengannya yang berkesan “mengawang-awang” dan jauh dari persoalan kehidupan manusia. Sedangkan kritik aspek Askiologi menyangkut pada kegunaan ilmu itu sendiri dalam menyingkap hakikat kebenaran yangtidakmenyentuhpadaranaempiris.
B.
Rumusan Masalah
Aliran
ilmu kalam modern?
BAB II
PEMBAHASAN
PEMBAHASAN
ALIRAN KALAM
MODERN (GERAKAN PEMBAHARUAN DALAM ISLAM)
- Muhammad Abduh (1849-1905)
“sesengguhnya aku menyeru kepada
kebebasan berfikir dari ikatan belenggu taqlid dan memahami agama sebagaimana
salaful ummat terdahulu”
Riwayat hidup M.Abduh
Muhammad Abduh lahir pada tahun 1266.H
atau 1849.M disebuah distrik bernama sibsyir kota mahallah nasr dari profinsi
bakhirhah,Mesir. Dari keluarga berperekonomian menengah yang berprofesi sebagai
petani. Beliau belajar Al-quran di rumah ayahnya saat beliau berusia10 tahun.
Dan selesai menghafalnya setelah dua tahun. Kemudian ayahnya mengutus beliau ke
profinsi thonto guna memperbaiki bacaan tajwid disebuah sekolah al-quran
bernama al-jamie al-ahmadi.
Diusianya yang masih remaja Muhammad
Abduh dikenal sebagai anak yang tekun dan semangat dalam menuntut ilmu. Hal ini
terlihat dari hasil gemilang yang kerap ia peroleh. Kemudian beliau pindah ke
Universitas Al-Azhar pada pertengahan syawal 1282.H atau 1862.M guna
melanjutkan jenjang pendidikan. Beliau slalu konsisten dan istiqomah menuntut
ilmu dari guru-gurunya (suyukh). Hingga ia bertemu dengan Sayyid Syaid Jamaluddin
Al-Afghani pada bulan muharram 1287.H. yang darinya beliau banyak belajar
berbagai macam ilmu:ilmu riyadi,filsafat,dan ilmu kalam. Keterikatan beliau dan
Jamaluddin Al-Afghani sangatlah erat. Sehingga dalam waktu singkat dampak
pemikiran Jamaladdin Al-Afghani tampak jelas pada diri Muhammad Abduh. Banyak
buku yang telah dibaca dan dikuasai. Kemudian beliau mulai menulis dan
menerbitkan buku. Beliau banyak menulis dalam ilmu mantiq dan ilmu kalam.
Ulasan dan pembahasan yang sistematis sampai beberapa mahasiswa memujinya
dangan ungkapan: tak pernah sebelumnya aku membaca yang sehebat ini. Sejak itu
beliau mulai terkenal. Terlebih setelah beliau mendapatkan sahadah alamiyah
dari Al-Azhar pada tahun 1294 H atau 1877 M. Selanjutnya beliu mengajar
dibeberapa sekolah.
Pada tahun 1300
H atau 1882 M beliau dideportasi karena dianggap terlibat dalam revolusi arab.
Kemudian beliau berdiam di syam. Ditengah masa pengasingannya beliau sempat
tinggal di Paris selama sepuluh bulan hingga menerbitkan sebuah jurnal urwatul
wusqa bersama guru beliau Jamaluddin Al-Afghani. Beliau kembali ke Mesir pada
tahun 1307 H atau 1889 M dan diangkat menjadi anggota Majlis idaroh Al-Azhar.
Kemudian mendapat kedudukan sebagai mufti mesir pada tahun 1317 H atau 1899 M.
Metode Muhammad Abduh dalam pembaharuan
Dalam melakukan
perbaikan Muhammad Abduh memandang bahwa suatu perbaikan tidaklah selamanya
datang melalui revolusi atau cara serupa. Seperti halnya perubahan sesuatu
secara cepat dan drastis. Akan tetapi juga dilakukan melalui perbaikan metode
pemikiran pada Umat Islam. Melaui pendidikan,pembelajaran,dan perbaikan akhlaq.
Juga dengan pembentukan masyarakat yang berbudaya dan berfikir yang bisa
melakukan pembaharuan dalam agamanya. Sehingga dengannya akan tercipta rasa aman dan keteguhan
dalam menjalankan agama Islam. Muhammad Abduh menilai bahwa cara ini akan
membutuhkan waktu lebih panjang dan lebih rumit. Akan tetapi memberikan dampak
perbaikan yang lebih besar dibanding melalui politik dan perubahan secara
besar-besaran dalam mewujudkan suatu kebangkitan dan kemajuan. Sebagaimana
telah didefinisikan bahwa pembaharuan(tajdid) adalah kebangkitan dan
penghidupan kembali dalam bidang keilmuan Islam dan aplikasi sebagaimana pada
zaman Rasullullah dan para sahabat. Yang selama ini sempat
hilang,terlupakan,bahkan terhapus dari tubuh Umat Islam.
Sebagaimana telah diungkapkan oleh
Muhammad Abduh bahwa metodenya dalam perbaikan adalah jalan tengah (al-man’haj
al-wusto). Dalam hal ini beliau membagi Umat Islam kepada 2 bagian yaitu:
1. mereka yang condong kepada ilmu-ilmu
agama dan apa yang berhubungan dengan itu semua. Mereka itu yang biasa disebut
al-muqallid.
2. mereka yang condong pada ilmu-ilmu
dunia. Yang silau dan kagum akan barat serta berbagai disiplin ilmu yang
dimiliki,dan kemajuannya dalam bidang materi.
Metode dalam pembaharuan yang
digunakan oleh Muhammad Abduh adalah mengambil jalan tengah antara kedua
kelompok diatas. Menyeimbangkan antara kedua jalan tersebut. Yaitu antara
kelompok yang berpegang teguh pada kejumudan taqlid dan mereka yang berlebihan
dalam mengikuti barat baik itu pada budaya dan disiplin ilmu yang mereka
miliki. Sebagaimana yang diungkapan oleh Muhammad Abduh dalam metode
pembaharuannya: “sesengguhnya aku menyeru kepada kebebasan berfikir dari ikatan
belenggu taqlid dan memahami agama sebagaimana salaful ummat terdahulu”. Yang
dimaksud dengan salaful Umat di sini adalah kembali kepada sumber-sumber yang
asli yaitu al-qur’an dan al-hadist sebagaimana yang dipraktikkan oleh para
salafus shaleh terdahulu.
Di antara ide-ide pemikiran pembaharuan Muhammad abduh ialah
:
1.
Penghapusan paham jumud yang berkembang di dunia Islam saat
itu
2.
Pembukaan pintu ijtihad sebagai dasar yang penting dalam
menginterpretasikan kembali ajaran Islam
3.
Kekuasaan negara harus dibatasi konstitusi yang telah dibuat
negara bersangkutan
4.
Memodernisasikan sistem pendidikan Islam di Al-azhar, dan
salah satunya dengan memasukan mata kuliah filsafat.
Dampak pemikiran Muhammad Abduh dalam pemikiran Islam
kontemporer
Mohammad Abduh adalah seorang
pelopor reformasi dan pembaharuan dalam pemikiran Islam.Ide-idenya yang
cemerlang,meninggalkan dampak yang besar dalam tubuh pemikiran Umat
Islam.beliaulah pendiri sekaligus peletak dasar-dasar sekolah pemikiran pada
zaman modern juga menyebarkannya kepada manusia. Walau guru beliau Jamal
Al-Afghani adalah sebagai orang pertama yang mengobarkan percikan pemikiran
dalam jiwanya,akan tetapi Imam Muhammad Abduh sebagai mana diungkapkan
Doktor.Mohammad Imarah,adalah seorang arsitektur terbesar dalam gerakan
pembaharuan dan reformasi atau sekolah pemikiran modern. Melebihi guru beliu
Jamaluddin Al-Afghani.
Muhammad Abduh memiliki andil besar
dalam perbaikan dan pembaharuan pemikiran Islam kontemporer. Telah banyak
pembaharuan yang beliau lakukan diantaranya:
1. Reformasi pendidikan
Mohammad Abduh memulai perbaikannya
melalui pendidikan. Menjadikan pendidikan sebagai sektor utama guna
menyelamatkan masyarakat mesir. menjadikan perbaikan sistem pendidikan sebagai
asas dalam mencetak muslim yang shaleh.
2. mendirikan lembaga dan yayasan
sosial.
Sepak terjang dalam perbaikan yang
dilakukan Muhammad Abduh tidak hanya terbatas pada aspek pemerintahan saja
seperti halnya perbaikan pendidikan dan Al-Azhar. Akan tetapi lebih dari itu
hingga mendirikan beberapa lembaga-lembaga sosial. Diantaranya: Jami’ah
khairiyah Islamiyah,jami’ah ihya al-ulum al-arabiyah,dan juga jami’ah
at-taqorrub baina al-adyan.
3. mendirikan sekolah pemikiran.
Muhammad Abduh adalah orang pertama
yang mendirikan sekolah pemikiran kontemporer. Yang memiliki dampak besar dalam
pembaharuan pemikiran Islam dan kebangkitan akal Umat muslim dalam menghadapi
musuh-musuh Islam yang sedang dengan gencar menyerang Umat muslim saat ini.
- B. Muhammad Iqbal (1896-1939)
Biografi Singkat M. Iqbal
Iqbal dilahirkan di Sialkot-India
(suatu kota tua bersejarah di perbatasan Punjab Barat dan Kashmir) pada tanggal
9 November 1877/ 2 Dzulqa’dah 1294 , dan wafat pada tanggal 21 April 1938.
Meski terlahir dari keluarga miskin, berkat kecerdasannya dalam memahami ilmu,
bantuan beasiswa ia peroleh dari tingkat sekolah menengah hingga perguruan
tinggi. Iqbal pun mendapatkan pendidikan yang baik. Setelah pendidikan dasarnya
selesai di Sialkot, ia masuk Government College (Sekolah Tinggi Pemerintah)
Lahore. Iqbal tercatat sebagai murid kesayangan dari Sir Thomas Arnold. Iqbal
lulus pada tahun 1897 dan mendapatkan dua medali emas karena kemampuannya yang
baik dalam bahasa Inggris dan Arab, serta memperoleh beasiswa. Hingga pada
tahun 1909, ia mendapatkan gelar master dalam bidang filsafat.
Iqbal dilahirkan dari kalangan
keluarga yang taat beribadah. Sejak kecil ia telah mendapatkan bimbingan
langsung dari sang ayah, Sayyid Mohammad Noor dan Muhammad Rafiq kakeknya.
Pendidikan dasar sampai tingkat menengah ia selesaikan di Sialkot untuk
kemudian melanjutkan ke Perguruan Tinggi di Lahore, di Cambridge-Inggris dan
terakhir di Munich-Jerman dengan mengajukan tesis berjudul The Development Of
Metaphysics in Persia. Sekembalinya dari Eropa tahun 1909 ia diangkat menjadi Guru
Besar di Lahore dan sempat menjadi pengacara.
Karya-karya Iqbal yang tercatat
diantaranya adalah Bang-i-dara (Genta Lonceng), Payam-i-Mashriq (Pesan Dari
Timur), Asrar-i-Khudi (Rahasia-rahasia Diri), Rumuz-i-Bekhudi (Rahasia-rahasia
Peniadaan Diri), Jawaid Nama (Kitab Keabadian), Zarb-i-Kalim (Pukulan Tongkat
Nabi Musa), Pas Cheh Bayad Kard Aye Aqwam-i-Sharq (Apakah Yang Akan Kau Lakukan
Wahai Rakyat Timur?), Musafir Nama, Bal-i-Jibril (Sayap Jibril),
Armughan-i-Hejaz (Hadiah Dari Hijaz), Devlopment of Metaphyiscs in Persia,
Lectures on the Reconstruction of Religius Thought in Islam -‘Ilm al-Iqtishâd,
A Contibution to the History of Muslim Philosopy, Zabur-i-‘Ajam (Taman Rahasia
Baru), Khusal Khan Khattak, dan Rumuz-i-Bekhudi (Rahasia Peniadaan Diri).
Sebagai seorang pemikir, tentu tidak
dapat sepenuhnya dikatakan bahwa gagasan-gagasannya tersebut lahir tanpa
dipengaruhi oleh pemikir-pemikir sebelumnya. Jika dilihat dari kondisi sosial
politik di masanya, Iqbal hidup pada masa kekuasaan kolonial Inggris. Pada masa
ini, pemikiran kaum muslimin di benua India sangat dipengaruhi oleh seorang
tokoh religius, yaitu Syah Waliyullah Ad-Dahlawi dan Sayyid Ahmad Khan .
Kecuali Ahmad Khan, Syah Waliyullah adalah pemikir muslim pertama yang
menyadari bahwa kaum muslimin tengah menghadapi jaman modern yang di dalamnya
ada tantangan serius dari Inggris mengenai masalah pemahaman Islam, terlebih
ketika Dinasti Mughal terakhir di India mengalami kekalahan saat melawan
Inggris pada tahun 1857, yang juga sangat mempengaruhi 41 tahun kekuasaan
Imperium Inggris , dan bahkan pada tahun 1858 British East India Company
dihapus dan Raja Inggris bertanggungjawab atas pemerintah imperium India .
Pemikiran Muhammad Iqbal
Menurut Dr. Syed Zafrullah Hasan
dalam pengantar buku Metafisika Iqbal yang ditulis oleh Dr. Ishrat Hasan Enver,
Iqbal memiliki beberapa pemikiran yang fundamental, yaitu intuisi, diri, dunia,
dan Tuhan. Baginya, Iqbal sangat berpengaruh di India, bahkan pemikiran Muslim
India dewasa ini tidak akan dapat dicapai tanpa mengkaji ide-idenya secara
mendalam.
Namun yang diketahui dan difahami
oleh masyarakat dunia dengan bukti berupa literatur-literatur yang beredar
luas, Iqbal adalah seorang negarawan, filosof dan sastrawan. Hal ini tidak
sepenuhnya keliru karena memang gerakan-gerakan dan karya-karyanya mencerminkan
hal itu. Dan jika dikaji, pemikiran-pemikirannya yang fundamental (intuisi,
diri, dunia, dan Tuhan) itulah yang menggerakkan dirinya untuk berperan di
India pada khususnya dan di belahan dunia timur ataupun barat pada umumnya,
baik sebagai negarawan maupun sebagai agamawan. Karena itulah ia disebut
sebagai Tokoh Multidimensional.
Dengan latar belakang itu pula maka
penulis akan memaparkan gagasan-gagasan Iqbal dalam dua hal, yaitu pemikirannya
tentang politik dan tentang Islam.
1.
C. Sayyid Ahmad Khan (1817-1898)
Riwayat Hidup Sayyid ahmad Khan
Sayyid Ahmad Khan berasal dari
keturunan Husein, cucu Nabi Muhammad SAW melalui Fatimah dan Ali dan dia
dilahirkan di Delhi pada tahun 1817 M. Nenek dari Syyaid Ahmad Khan adalah
Syyid Hadi yang menjadi pembesar istana pada zaman Alamaghir II ( 1754-1759 )
dan dia sejak kecil mengenyam pendidikan tradisional dalam wilayah pengetahuan
Agama dan belajar bahasa Arab dan juga pula belajar bahasa Persia. Ia adalah
sosok orang yang gemar membaca buku dalam berbagai bidang ilmu pengetahuan dan
dia ketika berumur belasan tahun dia bekerja pada serikat India Timur. Bekerja
pula sebagai Hakim, tetapi pada tahun 1846 ia kembali pulang ke kota
kelahirannya Delhi.
Di kota inilah dia gunakan waktunya
dan kesempatannya untuk menimba ilmu serta bergaul dengan tokoh – tokoh ,
pemuka Agama dan sekaligus mempelajari serta melihat peninggalan – peninggalan
kejayaan Islam, seperti Nawab Ahmad Baksh, Nawab Mustafa Khan,Hakim Mahmud
Khan, dan Nawab Aminuddin. Selama di Delhi Sayyid Ahmad Khan memulai untuk
mengarang yang mana karyanya yang pertama adalah Asar As – Sanadid. Dan pada tahun
1855 dia pindah ( hijrah ) ke Bijnore, di tempat ini pula dia tetap mengarang
buku – buku penting mengenai Islam di India. Pada tahun 1857 terjadi
pemberontakan dan kekacauan di akibatkan politik di Delhi yang menyebabkan
timbulnya kekerasan ( anarkis ) terhadap penduduk India. Ketika dia melihat
keadaan masyarakat India kususnya Delhi, ia berfikir untuk meninggalkan India
menuju Mesir, tetapi dia sadar dan terketuk hatinya harus memperjuangkan umat
Islam India agar memjadi maju, maka ia berusaha mencegah terjadinya kekerasan
dan konflik, serta mejadi penolong orang Inggris dari pembunuhan, hingga di
beri gelar Sir, tetapi ia menolaknya atas gelar yang di berikan
tersebut. Pada tahun 1861 ia mendirikan sekolah Inggris di Muradabad, dan pada
tahun 1878 ia juga mendirikan sekolah Mohammedan Angio Oriental College ( MAOC
) di Aligarh yamg merupakan karya yamg paling bersejarah dan berpengaruh untuk
memajukan perkembangan dan kemajuan Islam di India.
Ketika Inggris
menginjakkan kakinya dan menancapkan benderanya di India, kemudian runtuhlah
perbendaharaan Kerajaan Timur (diambil dari nama Timurlenk pendiri kedaulatan
Mongol pada abad ke enambelas Masehi). Yang menjadi tujuan mereka adalah untuk
melemahkan aqidah ummat Islam dan agar mereka (ummat Islam) menganut paham
orang-orang Inggris. Tujuan yang lain adalah untuk mempersempit kehidupan ummat
Islam dengan mengadakan berbagai penekanan dan paksaan-paksaan. Dengan demikian
maka ummat Islam tidak akan mengenal aqidah Islam yang sebenarnya dan akan
melalaikan kewajibannya. Ketika para pemerintah lalim itu gagal memanfaatkan
cara pertama, mereka mempergunakan cara yang kedua. Mereka mulai merencanakan
untuk menghilangkan Agama Islam dari India, sebab mereka hanya takut menghadapi
kaum muslimin yang kehilangan pemimpin dan hak-hak mereka.
Maka datanglah
seorang bernama Sayyid Ahmad Khan (gelar bangsawan di India)
mendekati penjajah Inggris untuk meraih keuntungan. Mulai dia melangkah untuk
meninggalkan agamanya (Islam) dan menganut agama yang dipeluk oleh bangsa
Inggris. Ia mulai menulis sebuah buku dimana ia menyatakan bahwa Taurat dan
Injil tidak pernah diubah-ubah oleh tangan manusia, untuk mendapatkan pangkat
dari tangan penjajah. Orang Inggris tidak percaya kepadanya sehingga ia
benar-benar menyatakan bahwa dirinya adalah “seorang Kristen”. Ia sadar bahwa
usahanya yang hina ini sia-sia belaka dan ia tidak mampu mengubah agama
penganut Islam kecuali beberapa orang saja. Maka ia memulai cara lain dalam
pengabdiannya kepada pemerintah Inggris: dengan memecah belah persatuan ummat
Islam. Ia memunculkan dirinya sebagai seorang naturalis ateis dan menyatakan
bahwa tak ada sesuatu apapun kecuali alam (nature) dan bahwa alam ini tidak ada
Tuhan yang menciptakan, Ia menyatakan bahwa semua Nabi adalah naturalis, tidak
percaya kepada Tuhan yang membuat undang-undang. Pemerintah Inggris merasa
bahagia dengan usahanya itu, dan melihat bahwa cara tersebut adalah yang paling
baik untuk merusak hati kaum Muslimin. Mereka menghormati dan menjunjung Ahmad
Khan dan membantu dia untuk mendirikan sekolah di Alighar dengan nama sekolah
“Muhammadiyin”, sebagai perangkap untuk menghimpun pemuda-pemuda Mu’min dan
dididik menurut pemikiran Ahmad Khan.
Ahmad Khan juga menulis sebuah
tafsir Al Qur’an, dimana ia banyak mengubah maksud yang sebenarnya. Ia
menerbitkan majalah bernama Tahdzibul-Akhlaq yang isinya hanya
membingungkan pikiran kaum Muslimin dan memecah belah mereka serta menyalakan
api permusuhan antara ummat Islam India dan yang lain, khususnya warga kerajaan
Ottoman. Secara terus terang ia menghilangkan seluruh agama yang ada, namun
pada hakekatnya agama Islam, Ia mengajak manusia untuk kembali ke “alam”,
dengan alasan bahwa bangsa Eropa tidak akan maju peradabannya dan tidak akan
memiliki ilmu pengetahuan, kerendahan hati dan kekuatan yang begitu tinggi
kecuali dengan membuang agama dan kembali kepada maksud agama yang sebenarnya,
yaitu menyelidiki nature (alam). Itulah pendapatnya.
Sistem penafsiran Ahmad Khan
terhadap Al Qur’an didasarkan atas dasar nature (alam), yang menentang adanya
Mu’jizat dan hal-hal yang ada diluar kebiasaan. Maka ia menyatakan bahwa
“kenabian” adalah tujuan yang dapat diperoleh dengan jalan latihan jiwa
(Riyadloh Nafsiyah), tujuan tersebut adalah alami dan manusiawi, dan caranya
pun manusiawi tidak luar biasa. Namun demikian ia mengakui Muhammad sebagai
penutup Risalah Ilahi.
Ketika menerangkan ayat tentang
peperangan, ia melemahkan kewajiban jihad pada masa yang akan datang. Dan ayat
yang berhubungan dengan Ahlul Kitab, ia tafsirkan bahwa tak ada jarak antara
ahlul kitab dan ummat Islam. Ia mengajak kerja sama antara orang-orang Islam
dan orang-orang Barat, ia mengajak kepada Humanisme Agama (yakni kemanusiaan
yang dianjurkan oleh semua agama samawi). Dalam konsep tersebut tak ada
perbedaan negara, bangsa, agama, dan paham. Dengan demikian Ahmad Khan memiliki
jasa di bidang politik dan pendidikan disertai motivasi pembaharuan agama. (Al
Bahiy, M, Dr. 1986:4-8).
Sayyid Ahmad Khan yang kemudian
dihujat dan dicap kafir oleh para ulama’ Makkah, beliau tidak langsung putus
asa dalam memperjuangkan pendapatnya, bahkan beliau tidak menggubrisnya.
Sementara menurut cendekiawan muda Muslim India, beliau diagungkan karena
memiliki ide-ide yang cemerlang untuk membangkitkan ummat Islam India dari
keterpurukan.
Sayyid Ahmad Khan berpendapat bahwa
peningkatan kedudukan umat Islam India, dapat diwujudkan hanya dengan bekerja
sama dengan Inggris. Inggris merupakan penguasa yang terkuat di India dan
menentang kekuasaan, itu tidak akan membawa kebaikan bagi umat Islam India. Hal
ini akan membuat mereka tetap mundur dan akhirnya akan jauh ketinggalan dari
masyarakat Hindhu India.
Jalan yang harus ditempuh umat Islam
untuk memperoleh ilmu pengetahuan dan teknologi yang diperlukan itu bukanlah
bekerja sama dengan Hindu dalam menentang Inggris tetapi memperbaiki dan
memperkuat hubungan baik dengan Inggris.
Ia berusaha meyakinkan pihak Inggris
bahwa dalam pemberontakan 1857, umat Islam tidak memainkan peranan utama. Untuk
itu Ia keluarkan pamflet yang mengandung penjelasan tentang hal-hal yang membawa pada
pecahnya pemberontakan 1857. diantara sebab-sebab yang ia sebut adalah yang
berikut:
·
Intervensi Inggris dalam soal keagamaan, seperti pendidikan
agama Kristen yang diberikan kepada yatim piatu di panti-panti yang diasuh oleh
orang Inggris, pembentukan sekolah-sekolah misi Kristen, dan penghapusan
pendidikan agama dari perguruan-perguruan tinggi.
·
Tidak turut sertanya orang-orang India, baik Islam maupun
Hindu, dalam lembaga-lembaga perwakilan rakyat, hal yang membawa kepada:
Rakyat India tidak mengetahui tujuan
dan niat Inggris mereka, anggap Inggris datang untuk merobah agama
mereka menjadi Kristen.Pemerintah Inggris tidak mengetahui keluhan-keluhan
rakyat India.
Pemerintah Inggris tidak berusaha
mengikat tali persahabatan dengan rakyat India, sedang kestabilan dalam
pemerintahan bergantung pada hubungan baik dengan rakyat. Sikap tidak
menghargai dan tidak menghormati rakyat India, membawa kepada akibat yang tidak
baik.
Atas usaha-usahanya dan atas sikap
setia yang ia tunjukkan terhadap Inggris, Sayyid Ahmad Khan akhirnya berhasil
dalam merobah pandangan Inggris terhadap umat Islam India. Dan sementara itu
anjuran supaya jangan mengambil sikap melawan tetapi sikap berteman dan
bersahabat dengan Inggris untuk menjalin hubungan baik antara orang Inggris dan
umat Islam. Agar umat Islam dapat ditolong dari kemundurannya, telah dapat
diwujudkan dimasa hidupnya.
Diantara ide-ide yang cemerlang itu adalah sebagai berikut:
1. Sayyid Ahmad Khan berpendapat bahwa
peningkatan kedudukan ummat Islam India, dapat diwujudkan dengan hanya
bekerjasama dengan Inggris. Inggris merupakan penguasa terkuat di India, dan
menentang kekuasaan itu tidak membawa kebaikan bagi ummat Islam India. Hal ini
akan membuat mereka tetap mundur dan akhirnya akan jauh ketinggalan dari
masyarakat Hindu India. Disamping itu dasar ketinggian dan kekuatan barat,
termasuk didalamnya Inggris, ialah ilmu pengetahuan dan teknologi modern. Untuk
dapat maju, ummat Islam harus pula menguasai ilmu pengetahuan dan teknologi
modern itu. Jalan yang harus ditempuh ummat Islam untuk memperoleh ilmu
pengetahuan dan teknologi modern yang diperlukan itu bukanlah kerjasama dengan
Hindu dalam menentang Inggris tetapi memperbaiki dan memperkuat hubungan baik
dengan Inggris. Ia berusaha meyakinkan pihak Inggris bahwa dalam pemberontakan
1857, ummat Islam tidak memainkan peranan utama. Atas usaha-usahanya dan atas
sikap setia yang ia tunjukkan terhadap Inggris. Sayyid Ahmad Khan akhirnya
berhasil dalam merobah pandangan Ingris terhadap ummat Islam India. Dan
sementara itu kepada ummat Islam ia anjurkan supaya jangan mengambil sikap
melawan, tetapi sikap berteman dan bersahabat dengan inggris. Cita citanya
untuk menjalani hubungan baik antara inggris dan umat islam, agar demikian
ummat islam dapat di tolong dari kemunduranya ,telah dapat di wujudkan di masa
hidupnya.
2. Sayid Ahmad Khan melihat bahwa ummat
Islam India mundur karena mereka tidak mengikuti perkembangan zaman. Peradaban
Islam klasik telah hilang dan telah timbul peradaban baru di barat. Dasar
peradaban baru ini ialah ilmu pengetahuan dan teknologi. Ilmu pengetahuan dan
teknologi modern adalah hasil pemikiran manusia. Oleh karena itu akal mendapat
penghargaan tinggi bagi Sayyid Ahmad Khan. Tetapi sebagai orang Islam yang
percaya kapada wahyu, ia berpendapat bahwa kekuatan akal bukan tidak terbatas. Karena
ia percaya pada kekuatan dan kebebasan akal, sungguhpun mempunyai batas, ia
percaya pada kebebasan dan kemerdekaan manusia dalam menentukan kehendak dan
melakukan perbuatan Alam, Sayyid Ahmad Khan selanjutnya, berjalan dan beredar
sesuai dengan hukum alam yang telah ditentukan Tuhan itu. Segalanya dalam alam
terjadi menurut hukum sebab akibat. Tetapi wujud semuanya tergantung pada sebab
pertama (Tuhan). Kalau ada sesuatu yang putus hubungannya dengan sebab pertama,
maka wujud sesuatu itu akan lenyap.
3. Sejalan dengan ide-ide diatas, ia
menolak faham Taklid bahkan tidak segan-segan menyerang faham ini. Sumber
ajaran Islam menurut pendapatnya hanyalah Al Qur’an dan Al Hadist. Pendapat
ulama’ di masa lampau tidak mengikat bagi ummat Islam dan diantara pendapat
mereka ada yang tidak sesuai lagi dengan zaman modern. Pendapat serupa itu
dapat ditinggalkan. Masyarakat manusia senantiasa mengalami perubahan dan oleh
karena itu perlu diadakan ijtihad baru untuk menyesuaikan pelaksanaan
ajaran-ajaran Islam dengan suasana masyarakat yang berobah itu. Dalam
mengadakan ijtihad, ijma’ dan qiyas baginya tidak merupakan sumber ajaran Islam
yang bersifat absolute. Hadits juga tidak semuanya diterimanya karena ada
hadits buat-buatan. Hadits dapat ia terima sebagai sumber hanya setelah
diadakan penelitian yang seksama tentang keasliannya.
4. Yang menjadi dasar bagi system
perkawinan dalam Islam, menurut pendapatnya, adalah system monogamy, dan bukan
system poligami sebagaimana telah dijelaskan oleh ulama’-ulama’ dizaman itu. Poligami
adalah pengecualian bagi system monogamy itu. Poligami tidak dianjurkan tetapi
dibolehkan dalam kasus-kasus tertentu. Hukum pemotongan tangan bagi pencuri
bukan suatu hukum yang wajib dilaksanakan, tetapi hanya merupakan hukum
maksimal yang dijatuhkan dalam keadaan tertentu. Disamping hukum potong tangan
terdapat hukum penjara bagi pencuri. Perbudakan yang disebut dalam Al Qur’an
hanyalah terbatas pada hari-hari pertama dari perjuangan Islam. Sesudah jatuh
dan menyerahnya kota Makkah, perbudakan tidak dibolehkan lagi dalam Islam.
Tujuan sebenarnya dari do’a ialah merasakan kehadiran Tuhan, dengan lain kata
do’a diperlukan untuk urusan spiritual dan
ketenteraman jiwa. Faham bahwa tujuan do’a adalah meminta sesuatu dari Tuhan
dan bahwa Tuhan mengabulkan permintaan itu, ia tolak. Kebanyakan do’a, demikian
ia menjelaskan, tidak pernah dikabulkan Tuhan.
5. Dalam ide politik, Sayyid Ahmad
Khan, berpendapat bahwa ummat Islam merupakan satu ummat yang tidak dapat
membentuk suatu Negara dengan ummat Hindu. Ummat Islam harus mempunyai Negara
tersendiri,. Bersatu dengan ummat Hindu dalam satu Negara akan membuat
minoritas Islam yang rendah kemajuannya, akan lenyap dalam mayoritas ummat
Hindu yang lebih tinggi kemajuannya.
Inilah pokok-pokok pemikiran Sayyid
Ahmad Khan mengenai pembaharuan dalam Islam. Ide-ide yang dimajukannya banyak
persamaannya dengan pemikiran Muhammad Abduh di Mesir. Kedua pemuka pembaharuan
ini sama-sama memberi penghargaan tinggi kepada akal manusia, sama-sama
menganut faham Qadariyah, sama-sama percaya kepada hukum alam ciptaan
Tuhan, sama-sama menentang taklid, dan sama-sama membuka pintu ijtihad yang
dianggap tertutup oleh ummat Islam pada umumnya diwaktu itu.
ILMU
KALAM MODERN (Muhammad Abduh, Muhammad Iqbal, dan Sayyid Ahmad Khan)
Dibawah ini akan di paparkan tentang tawaran kalam modern berseta tokoh-tokohnya.
B. MuhammadAbduh
1. Riwayat
Singkat Muhammad Abduh
Syekh Muhammad Abduh, nama lengkapnya Muhammad bin Abduh bin Hasan Khairullah. Beliau lahir di desa Mahallat Nashr kabupaten Al-Buhairah (Mesir) pada tahun 1849 M. Beliau bukan berasal dari keturunan yang kaya dan bukan pula keturunan bangsawan. Namun demikian, ayah beliau di kenal sebagai orang terhormat yang suka member pertolongan.[1] Kekerasan yang di terapkan oleh penguasa-penguasa Muhammad Ali dalam memungut pajak menyebabkan penduduk berpindah-pindah tempat untuk menghindari nya, Abduh lahir pada kondisi yang penuh deanga kecemasan ini.[2]
Mula-mula Abduh dikirim ayahnya ke Mesjid Al-Ahmadi Tantabelakangan tempat ini menjadi pusat kebudayaan selain Al-Azhar. Namun sistem pengajaran disana sangat menjengkelkannya sehingga setelah 2 tahun disana, beliau memutuskan untuk kembali ke desanya dan bertani seperti saudara-saudara serta kerabatnya. Ketika kembali ke desa, beliau dikawinkan. Pada saat itu beliau berumur 16 tahun, semula beliau bersikeras untuk tidak melanjutkan studinya, tetapi beliau kembali belajar atas dorongan pamannya, Syekh Darwish, yang banyak mempengaruhi kehidupan Abduh sebelum bertemu dengan Jamaluddin Al-Afghani. Atas jasanya itu, Abduh berkata “ … Ia telah membebaskan ku dari penjara kebodohan (the prison of ignorance) dan membimbing ku menuju ilmu pengetahuan …”)[3]
Setelah menyelesaikan studinya di bawah bimbingan pamannya, Abduh melanjutkan studi di Al-Azhar pada bulan Februari 1866. Tahun 1871, Jamaluddin Al-Afghani tiba di Mesir. Ketika itu Abduh masih menjadi mahasiswa Al-Azhar menyambut kedatangannya. Beliau selalu menghadiri pertemuan-pertemuan ilmiahnya dan beliau pun menjadi murid kesayangan Al-Afghani. Al-Afghani pulalah yang mendorong Abduh aktif menulis dalam bidang social dan politik. Artikel-artikel pembaharuanya banyak dimuat pada surat kabar Al-Ahram di Kairo.[4]
Setelah menyelesaikan studinya di Al-Azhar pada tahun 1877 dengan gelar Alim, Abduh mulai mengajar di Al-Azhar, di Dar Al-Ulum dan di rumahnya sendiri. Ketika Al-Afghani di usir dari Mesir pada tahun 1879 karena di tuduh mengadakan gerakan perlawanan terhadap Khedewi Taufiq, Abduh juga di tuduh ikut campur didalamnya. Ia di buang ke luar dari kota Kairo. Namun, pada tahun 1880, ia diperbolehkan kembali ke ibukota, kemudian diangkat menjadi redaktur surat kabar resmi pemerintahan Mesir Al-Waqa’I Al-Mishriyyah.
Pada waktu itu kesadaran nasional Mesir mulai tampak dan di bawah pimpinan Abduh, surat kabar resmi itu memuat artikel-artikel tentang urgenitas nasional Mesir, di samping berita-berita resmi.[5]
Setelah revolusi Urabi 1882 (yang berakhir dengan kegagalan), Abduh, ketika itu masih memimpin surat kabar Al-waqa’i, dituduh terlibat dalam revolusi besar tersebut sehingga pemerintah Mesir memutuskan untuk mengasingkannya selama tiga tahun dengan memberikan hak kepadanya untuk memilih tempat pengasingannya, dan Abduh memilih Suriah. Di Negeri ini, beliau menetap selama setahun. Kemudian beliau menyusul gurunya Al-Afghani yang ketika itu berada di Paris. Di sana mereka menerbitkan majalah al-Urwah al-Wusqa [6] pada tahun 1884.
Karya-karyanya yang di buat di surat kabar banyak menghendaki kebebasan berfikir dan modern. Pendapatnya mulai mengarah juga kepada para fukaha yang masih memperselihkan masalah furuiyyah.[7] Yang bertujuan mendirikan Pan-Islam menentang penjajahan Barat, khususnya Inggris. Tahun 1885, Abduh diutus oleh surat kabar tersebut ke Inggris untuk menemui tokoh-tokoh Negara itu yang bersimpati kepada rakyat Mesir. Tahun 1899, Abduh diangkat menjadi Mufti Mesir. Kedudukan tinggi itu dipegangnya sampai beliau menginggal dunia pada tahun 1905.
2. Pemikiran-Pemikiran Kalam Muhammad Abduh
a. Kedudukan Akal dan Fungsi Wahyu
Ada dua persoalan pokok yang menjadi fokus utama pemikiran Abduh, sebagai mana diakuinya sendiri, yaitu:[8]
· Membebaskan akal pikiran dari belenggu-belenggu taqlid yang menghambat perkembangan pengetahuan agama sebagaimana haknya salaf al-ummah (ulama sebelum abad ke-3 Hijriah), sebelum timbulnya perpecahan; yakni memahami langsung dari sumber pokoknya, Al-Quran.
· Memperbaiki gaya bahasa Arab, baik yang digunakan dalam percakapan resmi di kantor-kantor pemerintah maupun dalam tulisan-tulisan di media massa.
Dua persoalan pokok itu muncul ketika beliau meratapi perkembangan umat Islam pada masanya. Sebagaimana di jelaskan Sayyid Qutub, kondisi umat Islam saat itu dapat di gambarkan sebagai “suatu masyarakat yang beku, kaku; menutup rapat-rapat pintu ijtihad; mengabaikan peranan akal dalam memahami syari’at Allah atau meng-istinbat-kan hukum-hukum, karena mereka telah merasa cukup dengan hasil karya para pendahulunya yang juga hidup dalam masa kebekuan akal (jumud) serta yang berdasarkan khurafat-khurafat.
Atas dasar kedua fokus fikirannya itu, Muhammad Abduh memberikan peranan yang sangat besar kepada akal. Menurut Abduh, akal dapat mengetahui hal-hal berikut :[9]
· Tuhan dan sifat-sifat-Nya;
· Keberadaan hidup di akhirat;
· Kebahagiaan jiwa di akhirat bergantung pada upaya mengenal Tuhan dan berbuat baik, sedangkan kesengsaraannya bergantung pada sikap tidak mengenal Tuhan dan melakukan perbuatan jahat;
· Kewajiban manusia mengenal Tuhan;
· Kewajiban manusia untuk berbuat baik dan menjauhi perbuatan jahat untuk kebahagiaan di akhirat;
· Hukum-hukum mengenai kewajiban-kewajiban itu.
Abduh berpendapat bahwa antara akal dan wahyu tidak ada pertentangan, keduanya dapat disesuaikan. Kalau antara wahyu dan akal bertentang maka ada dua kemungkinan :[10]
· Wahyu sudah diubah sehingga sudah tidak sesuai dengan akal;
· Kesalahan dalam menggunakan penalaran.
Pemikiran semacam ini sangat dibutuhkan untuk menjelaskan bahwa islam adalah agama yang umatnya bebas berfikir secara rasional sehingga mendapatkan ilmu pengetahuan dan teori-teori ilmiah untuk kepentingan hidupnya, sebagaimana yang telah dimiliki oleh bangsa barat saat itu, dimana dengan ilmu pengetahuan mereka menjadi kreatif, dinamis dalam hidupnya.
Dengan memperhatikan pandangan Muhammad Abduh tentang peranan akal diatas, dan dapat di ketahui pula sebagaimana fungsi wahyu baginya. Baginya, wahyu adalah penolong (al-mu’in). Kata ini ia pergunakan untuk menjelaskan fungsi wahyu bagi akal manusia. Wahyu, katanya menolong akal untuk mengetahui sifat dan keadaan kehidupan alam akhirat, mengatur kehidupan masyarakat atas dasar prinsip-prinsip umum yang dibawanya, menyempurnakan pengetahuan akal tentang Tuhan dan sifat-sifat-Nya dan mengetahui cara beribadah serta berterima kasih kepada Tuhan. Dengan demikian, wahyu bagi Abduh berfungsi sebagai konfirmasi, yaitu untuk menguatkan dan menyempurnakan pengetahuan akal dan informasi.
b. Kebebasan Manusia dan Fatalisme
Bagi Abduh, di samping mempunyai daya piker, manusia juga mempunyai kebebasan memilih, yang merupakan sifat dasar alami yang ada dalam diri manusia. Kalau sifat dasar ini di hilangkan dari dirinya , ia bukan manusia lagi, tetapi makhluk lain. Manusia dengan akalnya mampu mempertimbangkan akibat perbuatan yang dilakukannya, kemudian mengambil keputusan dengan kemauannya sendiri, dan selanjutnya mewujudkan perbuatannya itu dengan daya yang ada dalam dirinya.[11]
c. Sifat-sifat Tuhan
Dalam risalah, ia menyebut sifat-sifat Tuhan. Adapun mengenai masalah apakah sifat itu termasuk esensi Tuhan atau yang lain? Ia menjelaskan bahwa hal itu terletak diluar kemampuan manusia. Dengan demikian Nasution melihat bahwa Abduh cenderung kepada pendapat bahwa sifat termasuk esensi Tuhan walaupun tidak secara tegas mengatakannya.[12]
d. Kehendak Mutlah Tuhan
Karena yakin akan kebebasan dan kemampuan manusia, Abduh melihat bahwa Tuhan tidak bersifat mutlak. Tuhan telah membatasi kehendak mutlah-Nya dengan member kebebasan dan kesanggupan kepada manusia dalam mewujudkan perbuatan-perbuatanya.
Kehendak mutlah Tuhan pun dibatasi oleh sunnahtullah secara umum. Ia tidak mungkin menyimpang dari sunnahtullah yang telah ditetapkannya. Di dalamnya terkandung arti bahwa tuhan dengan kemauan-Nya sendiri telah telah membatasi kehendak-Nya dengan sunnahtullah yang diciptakan-Nya untuk mengatur alam ini.[13]
e. Keadilan Tuhan
Karena memberikan daya besar kepada akal dan kebebasan manusia, Abduh mempunyai kecenderungan untuk memahami dan meninjau ala mini bukan hanya dari segi kehendak mutlat Tuhan, tetapi juga dari segi pandangan dan kepentingan manusia. Ia berpendapat bahwa ala mini diciptakan untuk kepentingan manusia dan tidak satupun ciptaan Tuhan yang tidak membawa mamfaat bagi manusia.[14]
f. Antropomorfisme
Karena Tuhan termasuk dalam alam rohani, rasio tidak dapat menerima faham bahwa Tuhan mempunyai sifat-sifat jasmani. Abduh, yang memberi kekuatan besar pada akal, berpendapat bahwa tidak mungkin esensi dan sifat-sifat Tuhan mengambil bentuk tubuh atau roh makhluk di alam ini. Kata-kata wajah, tangan, duduk dan sebagainya mesti difahami sesuai dengan pengertian yang diberikan orang Arab kepadanya.[15]
g. Melihat Tuhan
Muhammad Abduh tidak menjelaskan pendapatnya apakah Tuhan yang bersifat rohani itu dapat dilihat oleh manusia dengan mata kepalanya di hari perhitungan kelak? Ia hanya menyebutkan bahwa orang yang pecaya pada tanzih (keyakinan bahwa tidak ada satu pun dari makhluk yang menyerupai Tuhan) sepakat menyatakan bahwa Tuhan tak dapat digambarkan ataupun dijelaskan dengan kata-kata. Kesanggupan melihat Tuhan dianugerahkan hanya kepada orang-orang tertentu di akhirat.[16]
h. Perbuatan Tuhan
Karena berpendapat bahwa ada perbuatan Tuhan yang wajib, Abduh sefaham dengan Mu’tazilah dalam mengatakan bahwa wajib bagi Tuhan untuk berbuat apa yang terbaik bagi manusia.[17]
C. Muhammad Iqbal
1. Riwayat Hidup Muhammad Iqbal
Muhammad Iqbal lahir di Sialkot pada tahun 1873. Beliau berasal dari keluarga kasta Brahmana Khasmir. Ayahnya bernama Nur Muhammad yang terkenal saleh. Guru pertama beliau adalah ayahnya sendiri kemudian beliau dimasukkan ke sebuah maktab untuk mempelajari Al-Qur’an.[18]
Setelah itu, beliau dimasukkan Scottish Mission School. Di bawah bimbingan Mir Hasan, beliau diberi pelajaran agama, bahasa Arab, dan bahasa Persia. Setelah menyelesaikan sekolahnya di Sialkot, belaiu pergi ke Lahore, sebuah kota besar di India untuk melanjutkan belajarnya di Government College, Di situ ia bertemu dengan Thomas Arnold, seorang orientalis yang menjadi guru besar dalam bidang filsafat pada universitas tersebut.[19]
Ketika belajar di kota India, Beliau menawarkan beberapa konsep pemikiran seperti, perlunya pengembangan ijtihad dan dinamisme Islam. Pemikiran ini muncul sebagai bentuk ketidak sepakatnya terhadap perkembangan dunia Islam hampir enam abad terakhir. Posisi umat Islam mengalami kemunduran. Pada perkembangan Islam pada abad enam terakhir, umat islam bearada dalam lingkungan kejumudan yang disebabkan kehancuran Baghdad sebagai simbol peradaban ilmu pengetahuan dan agama pada pertengahan abad 13.[20]
Dua tahun kemudian beliau pindak ke Munich, Jerman. Di Universitas ini, beliau memperoleh gelar Ph. D dalam tasawuf dengan disertasinya yang berjudul The Development of Metaphysics in Persia (Perkembangan Metafisika di Persia).[21]
Beliau tinggal di Eropa kurang lebih selama tiga tahun. Sekembalinya dari Munich, beliau menjadi advokat dan juga sebagai dosen. Buku yang berjudul The Recontruction of Religius Thought in Islam adalah kumpulan dari ceramah-ceramahnya sejak tahun 1982 dan merupakan karyanya terbesar dalam bidang filsafat.[22]
Pada tahun 1930, beliau memasuki bidang politik dan menjadi ketua konferensi tahunan Liga Muslim di Allahabad, kemudian pada tahun 1931 dan tahun 1992, beliau ikut dalam Konferensi Meja Bundar di London yang membahas konstitusi baru bagi India. Pada bulan Oktober tahun 1933, beliau di undang ke Afganistan untuk membicarakan pembentukan Universitas Kabul. Pada tahun 1935, beliau jatuh sakit dan bertambah parah setelah istrinya meninggal dunia pada tahun itu pula, dan beliau meninggal pada tanggal 20 April 1935.[23]
2. Pemikiran Kalam Muhammad Iqbal
Islam dalam pandangan beliau menolak konsep lama yang menyatakan bahwa alam bersifat statis. Islam, katanya, mempertahankan konsep dinamis dan mengakui adanya gerak perubahan dalam kehidupan sosial manusia.[24]
Oleh karena itu, manusia dengan kemampuan khudi-nya harus menciptakan perubahan. Besarnya penghargaan beliau terhadap gerak dan perubahan ini membawa pemahaman yang dinamis tentang Al-Qur’an dan hokum Islam. Tujuan diturunnya Al-Qur’an, menurut beliau adalah membangkitkan kesadaran manusia sehingga mampu menerjemahkan dan menjabarkan nas-nas Al-Qur’an yang masih global dalam realita kehidupan dengan kemampuan nalar manusia dan dinamika manusia yang selalu berubah. Inilah yang dalam rumusan fiqh disebut ijtihad yang oleh beliau disebutnya sebagai prinsip gerak dalam struktur Islam.[25]
Oleh karena itu, untuk mengembalikan semangat dinamika Islam dan membuang kekakuan serta kejumudan hokum Islam, ijtihad harus dialihkan menjadi ijtihad kolektif. Menurut beliau, peralihan kekuasaan ijtihat individu yang mewakili mazhab tertentu kepada lembaga legislative Islam adalah satu-satunya bentuk yang paling tepat untuk menggerakkan spirit dalam sistem hokum Islam yang selama ini hilang dari umat Islam dan menyerukan kepada kaum muslimin agar menerima dan mengembangkan lebih lanjut hasil-hasil realisme tersebut.
Sebagaimana pandangan mayoritas ulama, beliau membagi kualifikasi ijtihad ke dalam tiga tingkatan, yaitu :[26]
· Otoritas penuh dalam menentukan perundang-undangan yang secara praktis hanya terbatas pada pendiri madzhab-madzhab saja;
· Otoritas relatif yang hanya dilakukan dalam batas-batas tertentu dari satu madzhab;
· Otoritas khusus yang berhubungan dengan penetapan hokum dalam kasus-kasus tertentu dengan tidak terikat pada ketentuan-ketentuan pendiri madzhab.
a. Hakikat Teologi
Secara umum beliau melihat teologi sebagai ilmu yang berdemensi keimanan, mendasarkan pada esensi tauhid (universal dan inklusivistik). Didalamnya terdapat jiwa yang bergerak berupa “persamaan, kesetiakawanan dan kebebasmerdekaan”.[27] Pandangannya tentang ontology teologi membuatnya berhasil melihat anomali (penyimpanan) yang melekat pada literatur ilmu kalam klasik.[28]
b. Pembuktian Tuhan
Dalam membuktikan eksistensi Tuhan, beliau menolak argumen kosmologis maupun ontologis. Beliau juga menolak argumen teleologis yang berusaha membuktikan eksistensi Tuhan yang mengatur ciptaan-Nya dari sebelah luar. Walaupun demikian, beliau menerima landasan teleologis yang imamen (tetap ada). Untuk menopang hal ini, beliau menolak pandangan yang statis tentang matter serta menerima pandangan Whitehead tentangnya sebagai struktur kejadian dalam aliran dinamis yang tidak berhenti. Karakter nyata konsep tersebut ditemukan beliau dalam “jangka waktu murni”-nya Bergson, yang tidak terjangkau oleh serial waktu. Dalam” jangka waktu murni”, ada perubahan, tetapi tidak ada suksesi (penggantian).[29]
c. Jati diri manusia
Faham dinamisme beliau berpengaruh besar terhadap jati diri manusia. Penelusuran terhadap pendapatnya tentang persoalan ini dapat dilihat dari konsepnya tentang ego, ide sentral dalam pemikiran filosofisnya. Kata itu diartikan dengan kepribadian. Manusia hidup untuk mengetahui kepribadiannya serta menguatkan dan mengembangkan bakat-bakatnya, bukan sebaliknya, yakni melemahkan pribadinya, seperti yang dilakukan oleh para sufi yang menundukkan jiwa sehingga fana dengan Allah.[30]
d. Dosa
Beliau secara tegas menyatakan dalam seluruh kualitasnya bahwa Al-Qur’an menampilkan ajaran tentang kebebasan ego manusia yang bersifat kreatif. Dalam hubungan ini, beliau mengembangkan cerita tentang kejatuhan Adam (karena memakan buah terlarang) sebagai kisah yang berisi pelajaran tentang “kebangkitan manusia dari kondisi primitive yang di kuasai hawa nafsu naluriah kepada pemilikan kepribadian bebas yang diperolehnya secara sadar, sehingga mampu mengatasi kebimbangan dan kecenderungan untuk membangkang” dan “timbulnya ego terbatas yang memiliki kemampuan untuk memiliki”.[31]
e. Surga dan Neraka
Surga dan Neraka, kata beliau adalah keadaan, bukan tempat. Gambaran-gambaran tentang keduanya di dalam Al-Qur’an adalah penampilan-penampilan kenyataan batin secara visual, yaitu sifatnya. Neraka, menurut rumusan Al-Qur’an adalah “ api Allah yang menyala-nyala dan yang membumbung ke atas hati”, pernyataan yang menyakitkan mengenai kegagalan manusia. Surga adalah kegembiraan karena mendapatkan kemenangan dalam mengatasi berbagai gorongan yang menuju kepada perpecahan.[32]
D. Sayyid Ahmad Khan
1. Riwayat Singkat Sayyid Ahmad Khan
Beliau lahir di Delhi pada tahun 1817. Menurut suatu keterangan, beliau berasal dari keturunan Husein, cucu Nabi Muhammad SAW.[33] Melalui Ali bin Abi Thalib dan Fatimah az Zahra.[34] Neneknya, Sayyid Hadi, adalah pembesar istana pada zaman Alamghir II (1754-1759). Sejak kecil, Beliau mendapat didikan tradisional dalam pengetahuan agama. Beliau belajar bahasa Arab dan juga bahasa Persia. Beliau rajin membaca buku dalam berbagai bidang ilmu pengetahuan. Ketika berusia delapan belas tahun, beliau bekerja pada Serikat India Timur.[35] Pengaruhnya beliau di Serikat India Timur khususnya di dunia Islam diakui cukup besar. Beliau pengliham utama kebangkitan orang Islam di masa abad 19, langsung atau tidak langsung beliau berperan dalam pengorganisasian beberapa gerakan masa dan gerakan reformis diseluruh umat Islam. Di dalamnya termasuk gerakan modernis dan khalikah di india, gerakan nasionalis dan modernis di Mesir, gerakan persatuan dan kemajuan di Turki.[36] Kemudian bekerja pula sebagai hakim, tetapi pada tahun 1846 beliau kembali ke Delhi dan mempergunakan kesempatan itu untuk belajar.[37]
Di kota Delhi inilah beliau dapat melihat langsung peninggalan-peninggalan kejayaan Islam dan bergaul dengan tokoh-tokoh dan pemuda muslim, seperti Nawab Ahmad Baksh, Nawab Mustafa Khan, Hakim Mahmud Khan, dan Nawab Aminuddin, Semasa di Delhi, beliau mulai mengarang. Karya pertamanya adalah Asar As-Sanadid, pada tahun 1855 beliau pindah ke Bijnore. Di tempat ini, beliau tetap mengarang buku-buku penting Islam di India. Pada tahun 1857 terjadi pemberontakan dan kekacauan politik di Delhi yang menyebabkan timbulnya kekerasan terhadap orang India. Ketika melihat keadaan rakyat Delhi, beliau sempat berpikir untuk meninggalkan India menuju Mesir, tetapi beliau sadar bahwa beliau harus memperjuangkan umat Islam India agar menjadi maju. Beliau berusaha mencegah terjadinya kekerasan dan banyak menolong orang Inggris dari pembunuhan, hingga diberi gelar Sir, tetapi beliau menolaknya.[38]
Pada tahun 1861 beliau mendirikan sekolah Inggris di Maradabad[39] dan Ghaziur untuk para pelajar yang ingin menuntut ilmu.[40] Pada tahun 1878 beliau mendirikan sekolah Mohammedan Anglo Oriental College (MAOC) di Aligarh yang merupakan karyanya yang paling bersejarah dan berpengaruh untuk memajukan umat Islam India.[41]
Membentuk All India Muhammadan Educational Conference yang bertujuan untuk memajukan pendidikan Islam di bidang kaum muslim. Sebagai pemikir Islam di bidang Pendidikan, banyak karya tulis yang di hasilkannya seperti tafsir Alqur’an 6 jilid, Tabyin al-Kalam 1862 tentang bible dan Asbab Baghawat i-Hind 1858 dan Essai and the life of Muhammad 1870 (biografi Nabi Muhammad).[42] Hingga akhir ayatnya beliau selalu mementingkan pendidikan umat Islam India [43]dan meninggal dunia pada tahun 1989.[44]
2. Pemikiran Kalam Sayyid Ahmad Khan
Beliau mempunyai kesamaan pemikiran dengan Muhammad Abduh di Mesdir, setelah Abduh berpisah dengan Jamaluddin Al-Afghani dan kembali dari pengasingan. Hal ini dapat dilihat dari beberapa ide yang dikemukakannya, terutama tentang akal yang mendapat penghargaan tinggi dalam pandangannya. Meskipun demikian, sebagai penganut ajaran Islam yang taat dan pecaya akan kebenaran wahyu, beliau berpendapat bahwa akal bukanlah segalanya dan kekuatan akal pun terbatas.[45]
Keyakinan kekuatan dan kebebasan akal menjadikan beliau percaya bahwa manusia bebas untuk menentukan kehendak dan melakukan perbuatan. Ini berarti bahwa beliau mempunyai faham yang sama dengan faham Qadariyah. Menurutnya, beliau telah dianugerahi Tuhan berbagai macam daya, diantaranya adalah daya berfikir berupa akal, dan daya fisik untuk merealisasikan kehendaknya. Karena kuatnya kepercayaan terhadap hokum alam dan kerasnya mempertahankan konsep hokum alam, beliau dianggap kafir oleh sebagian umat Islam. Bahkan ketika dating ke India pada tahun 1869, Jamaluddin Al-Afghani menerima keluhan itu. Sebagai tanggapan atas tuduhan tersebut, Jamaluddin mengarang sebuah buku yang berjudul Ar-Radd Ad-Dahriyah (Jawaban Bagi Kaum Materialis).
Sejalan dengan faham Qadariyah yang dianutnya, ia menentang keras faham aklid. Beliau berpendapat bahwa umat Islam India mundur karena mereka tidak mengikuti perkembangan zaman. Selanjutnya beliau mengemukakan bahwa Tuhan telah menentukan tabiat atau nature (sunnatullah) bagi setipa makhluk-Nya yang tetap dan tidak pernah berubah, Menurut beliau, Islam agama agama yang paling sesuai dengan hokum alam, karena hukum alam adalah ciptaan Tuhan dan Al-Qur’an adalah firman-Nya maka sudah tentu keduanya seiring sejalan dan tidak ada pertentangan.[46]
Sejalan dengan keyakinan tentang kekuatan akal dan hukum alam, beliau tidak mau pemikirannya tergantung otoritis Hadist dan Fiqh. Segala sesuatu diukurnya dengan kritis rasional. Beliau pun menolak semua yang bertentangan dengan logika dan hokum alam. Beliau hanya mau mengambil Al-Qur’an sebagai pedoman bagi Islam, sedangkan yang lain hanya bersifat membantu dan kurang begitu penting.Alasan penolakan beliau terhadap Hadist adalah karena Hadist berisi moralitas sosial dari masyarakat Islam pada abad pertama atau kedua sewaktu hadist tersebut dikumpulkan. Sedangkan hokum Fiqh, menurut beliau adalah berisi moralitas masyarakat berikutnya sampai saat timbulnya mazhab-mazhab. Beliau menolak taklid dan membawa Al-Qur’an untuk menguraikan relevansinya dengan masyarakat baru pada zaman itu.[47]
Sebagai konsekuensi dari penolakannya terhadap taklid, beliau memandang perlu diadakannya ijtihad-ijtihat baru untuk menyesuaikan pelaksanaan ajaran-ajaran Islam dengan situasi dan kondisi masyarakat yang senantiasa mengalami perubahan.[48]
Syekh Muhammad Abduh, nama lengkapnya Muhammad bin Abduh bin Hasan Khairullah. Beliau lahir di desa Mahallat Nashr kabupaten Al-Buhairah (Mesir) pada tahun 1849 M. Beliau bukan berasal dari keturunan yang kaya dan bukan pula keturunan bangsawan. Namun demikian, ayah beliau di kenal sebagai orang terhormat yang suka member pertolongan.[1] Kekerasan yang di terapkan oleh penguasa-penguasa Muhammad Ali dalam memungut pajak menyebabkan penduduk berpindah-pindah tempat untuk menghindari nya, Abduh lahir pada kondisi yang penuh deanga kecemasan ini.[2]
Mula-mula Abduh dikirim ayahnya ke Mesjid Al-Ahmadi Tantabelakangan tempat ini menjadi pusat kebudayaan selain Al-Azhar. Namun sistem pengajaran disana sangat menjengkelkannya sehingga setelah 2 tahun disana, beliau memutuskan untuk kembali ke desanya dan bertani seperti saudara-saudara serta kerabatnya. Ketika kembali ke desa, beliau dikawinkan. Pada saat itu beliau berumur 16 tahun, semula beliau bersikeras untuk tidak melanjutkan studinya, tetapi beliau kembali belajar atas dorongan pamannya, Syekh Darwish, yang banyak mempengaruhi kehidupan Abduh sebelum bertemu dengan Jamaluddin Al-Afghani. Atas jasanya itu, Abduh berkata “ … Ia telah membebaskan ku dari penjara kebodohan (the prison of ignorance) dan membimbing ku menuju ilmu pengetahuan …”)[3]
Setelah menyelesaikan studinya di bawah bimbingan pamannya, Abduh melanjutkan studi di Al-Azhar pada bulan Februari 1866. Tahun 1871, Jamaluddin Al-Afghani tiba di Mesir. Ketika itu Abduh masih menjadi mahasiswa Al-Azhar menyambut kedatangannya. Beliau selalu menghadiri pertemuan-pertemuan ilmiahnya dan beliau pun menjadi murid kesayangan Al-Afghani. Al-Afghani pulalah yang mendorong Abduh aktif menulis dalam bidang social dan politik. Artikel-artikel pembaharuanya banyak dimuat pada surat kabar Al-Ahram di Kairo.[4]
Setelah menyelesaikan studinya di Al-Azhar pada tahun 1877 dengan gelar Alim, Abduh mulai mengajar di Al-Azhar, di Dar Al-Ulum dan di rumahnya sendiri. Ketika Al-Afghani di usir dari Mesir pada tahun 1879 karena di tuduh mengadakan gerakan perlawanan terhadap Khedewi Taufiq, Abduh juga di tuduh ikut campur didalamnya. Ia di buang ke luar dari kota Kairo. Namun, pada tahun 1880, ia diperbolehkan kembali ke ibukota, kemudian diangkat menjadi redaktur surat kabar resmi pemerintahan Mesir Al-Waqa’I Al-Mishriyyah.
Pada waktu itu kesadaran nasional Mesir mulai tampak dan di bawah pimpinan Abduh, surat kabar resmi itu memuat artikel-artikel tentang urgenitas nasional Mesir, di samping berita-berita resmi.[5]
Setelah revolusi Urabi 1882 (yang berakhir dengan kegagalan), Abduh, ketika itu masih memimpin surat kabar Al-waqa’i, dituduh terlibat dalam revolusi besar tersebut sehingga pemerintah Mesir memutuskan untuk mengasingkannya selama tiga tahun dengan memberikan hak kepadanya untuk memilih tempat pengasingannya, dan Abduh memilih Suriah. Di Negeri ini, beliau menetap selama setahun. Kemudian beliau menyusul gurunya Al-Afghani yang ketika itu berada di Paris. Di sana mereka menerbitkan majalah al-Urwah al-Wusqa [6] pada tahun 1884.
Karya-karyanya yang di buat di surat kabar banyak menghendaki kebebasan berfikir dan modern. Pendapatnya mulai mengarah juga kepada para fukaha yang masih memperselihkan masalah furuiyyah.[7] Yang bertujuan mendirikan Pan-Islam menentang penjajahan Barat, khususnya Inggris. Tahun 1885, Abduh diutus oleh surat kabar tersebut ke Inggris untuk menemui tokoh-tokoh Negara itu yang bersimpati kepada rakyat Mesir. Tahun 1899, Abduh diangkat menjadi Mufti Mesir. Kedudukan tinggi itu dipegangnya sampai beliau menginggal dunia pada tahun 1905.
2. Pemikiran-Pemikiran Kalam Muhammad Abduh
a. Kedudukan Akal dan Fungsi Wahyu
Ada dua persoalan pokok yang menjadi fokus utama pemikiran Abduh, sebagai mana diakuinya sendiri, yaitu:[8]
· Membebaskan akal pikiran dari belenggu-belenggu taqlid yang menghambat perkembangan pengetahuan agama sebagaimana haknya salaf al-ummah (ulama sebelum abad ke-3 Hijriah), sebelum timbulnya perpecahan; yakni memahami langsung dari sumber pokoknya, Al-Quran.
· Memperbaiki gaya bahasa Arab, baik yang digunakan dalam percakapan resmi di kantor-kantor pemerintah maupun dalam tulisan-tulisan di media massa.
Dua persoalan pokok itu muncul ketika beliau meratapi perkembangan umat Islam pada masanya. Sebagaimana di jelaskan Sayyid Qutub, kondisi umat Islam saat itu dapat di gambarkan sebagai “suatu masyarakat yang beku, kaku; menutup rapat-rapat pintu ijtihad; mengabaikan peranan akal dalam memahami syari’at Allah atau meng-istinbat-kan hukum-hukum, karena mereka telah merasa cukup dengan hasil karya para pendahulunya yang juga hidup dalam masa kebekuan akal (jumud) serta yang berdasarkan khurafat-khurafat.
Atas dasar kedua fokus fikirannya itu, Muhammad Abduh memberikan peranan yang sangat besar kepada akal. Menurut Abduh, akal dapat mengetahui hal-hal berikut :[9]
· Tuhan dan sifat-sifat-Nya;
· Keberadaan hidup di akhirat;
· Kebahagiaan jiwa di akhirat bergantung pada upaya mengenal Tuhan dan berbuat baik, sedangkan kesengsaraannya bergantung pada sikap tidak mengenal Tuhan dan melakukan perbuatan jahat;
· Kewajiban manusia mengenal Tuhan;
· Kewajiban manusia untuk berbuat baik dan menjauhi perbuatan jahat untuk kebahagiaan di akhirat;
· Hukum-hukum mengenai kewajiban-kewajiban itu.
Abduh berpendapat bahwa antara akal dan wahyu tidak ada pertentangan, keduanya dapat disesuaikan. Kalau antara wahyu dan akal bertentang maka ada dua kemungkinan :[10]
· Wahyu sudah diubah sehingga sudah tidak sesuai dengan akal;
· Kesalahan dalam menggunakan penalaran.
Pemikiran semacam ini sangat dibutuhkan untuk menjelaskan bahwa islam adalah agama yang umatnya bebas berfikir secara rasional sehingga mendapatkan ilmu pengetahuan dan teori-teori ilmiah untuk kepentingan hidupnya, sebagaimana yang telah dimiliki oleh bangsa barat saat itu, dimana dengan ilmu pengetahuan mereka menjadi kreatif, dinamis dalam hidupnya.
Dengan memperhatikan pandangan Muhammad Abduh tentang peranan akal diatas, dan dapat di ketahui pula sebagaimana fungsi wahyu baginya. Baginya, wahyu adalah penolong (al-mu’in). Kata ini ia pergunakan untuk menjelaskan fungsi wahyu bagi akal manusia. Wahyu, katanya menolong akal untuk mengetahui sifat dan keadaan kehidupan alam akhirat, mengatur kehidupan masyarakat atas dasar prinsip-prinsip umum yang dibawanya, menyempurnakan pengetahuan akal tentang Tuhan dan sifat-sifat-Nya dan mengetahui cara beribadah serta berterima kasih kepada Tuhan. Dengan demikian, wahyu bagi Abduh berfungsi sebagai konfirmasi, yaitu untuk menguatkan dan menyempurnakan pengetahuan akal dan informasi.
b. Kebebasan Manusia dan Fatalisme
Bagi Abduh, di samping mempunyai daya piker, manusia juga mempunyai kebebasan memilih, yang merupakan sifat dasar alami yang ada dalam diri manusia. Kalau sifat dasar ini di hilangkan dari dirinya , ia bukan manusia lagi, tetapi makhluk lain. Manusia dengan akalnya mampu mempertimbangkan akibat perbuatan yang dilakukannya, kemudian mengambil keputusan dengan kemauannya sendiri, dan selanjutnya mewujudkan perbuatannya itu dengan daya yang ada dalam dirinya.[11]
c. Sifat-sifat Tuhan
Dalam risalah, ia menyebut sifat-sifat Tuhan. Adapun mengenai masalah apakah sifat itu termasuk esensi Tuhan atau yang lain? Ia menjelaskan bahwa hal itu terletak diluar kemampuan manusia. Dengan demikian Nasution melihat bahwa Abduh cenderung kepada pendapat bahwa sifat termasuk esensi Tuhan walaupun tidak secara tegas mengatakannya.[12]
d. Kehendak Mutlah Tuhan
Karena yakin akan kebebasan dan kemampuan manusia, Abduh melihat bahwa Tuhan tidak bersifat mutlak. Tuhan telah membatasi kehendak mutlah-Nya dengan member kebebasan dan kesanggupan kepada manusia dalam mewujudkan perbuatan-perbuatanya.
Kehendak mutlah Tuhan pun dibatasi oleh sunnahtullah secara umum. Ia tidak mungkin menyimpang dari sunnahtullah yang telah ditetapkannya. Di dalamnya terkandung arti bahwa tuhan dengan kemauan-Nya sendiri telah telah membatasi kehendak-Nya dengan sunnahtullah yang diciptakan-Nya untuk mengatur alam ini.[13]
e. Keadilan Tuhan
Karena memberikan daya besar kepada akal dan kebebasan manusia, Abduh mempunyai kecenderungan untuk memahami dan meninjau ala mini bukan hanya dari segi kehendak mutlat Tuhan, tetapi juga dari segi pandangan dan kepentingan manusia. Ia berpendapat bahwa ala mini diciptakan untuk kepentingan manusia dan tidak satupun ciptaan Tuhan yang tidak membawa mamfaat bagi manusia.[14]
f. Antropomorfisme
Karena Tuhan termasuk dalam alam rohani, rasio tidak dapat menerima faham bahwa Tuhan mempunyai sifat-sifat jasmani. Abduh, yang memberi kekuatan besar pada akal, berpendapat bahwa tidak mungkin esensi dan sifat-sifat Tuhan mengambil bentuk tubuh atau roh makhluk di alam ini. Kata-kata wajah, tangan, duduk dan sebagainya mesti difahami sesuai dengan pengertian yang diberikan orang Arab kepadanya.[15]
g. Melihat Tuhan
Muhammad Abduh tidak menjelaskan pendapatnya apakah Tuhan yang bersifat rohani itu dapat dilihat oleh manusia dengan mata kepalanya di hari perhitungan kelak? Ia hanya menyebutkan bahwa orang yang pecaya pada tanzih (keyakinan bahwa tidak ada satu pun dari makhluk yang menyerupai Tuhan) sepakat menyatakan bahwa Tuhan tak dapat digambarkan ataupun dijelaskan dengan kata-kata. Kesanggupan melihat Tuhan dianugerahkan hanya kepada orang-orang tertentu di akhirat.[16]
h. Perbuatan Tuhan
Karena berpendapat bahwa ada perbuatan Tuhan yang wajib, Abduh sefaham dengan Mu’tazilah dalam mengatakan bahwa wajib bagi Tuhan untuk berbuat apa yang terbaik bagi manusia.[17]
C. Muhammad Iqbal
1. Riwayat Hidup Muhammad Iqbal
Muhammad Iqbal lahir di Sialkot pada tahun 1873. Beliau berasal dari keluarga kasta Brahmana Khasmir. Ayahnya bernama Nur Muhammad yang terkenal saleh. Guru pertama beliau adalah ayahnya sendiri kemudian beliau dimasukkan ke sebuah maktab untuk mempelajari Al-Qur’an.[18]
Setelah itu, beliau dimasukkan Scottish Mission School. Di bawah bimbingan Mir Hasan, beliau diberi pelajaran agama, bahasa Arab, dan bahasa Persia. Setelah menyelesaikan sekolahnya di Sialkot, belaiu pergi ke Lahore, sebuah kota besar di India untuk melanjutkan belajarnya di Government College, Di situ ia bertemu dengan Thomas Arnold, seorang orientalis yang menjadi guru besar dalam bidang filsafat pada universitas tersebut.[19]
Ketika belajar di kota India, Beliau menawarkan beberapa konsep pemikiran seperti, perlunya pengembangan ijtihad dan dinamisme Islam. Pemikiran ini muncul sebagai bentuk ketidak sepakatnya terhadap perkembangan dunia Islam hampir enam abad terakhir. Posisi umat Islam mengalami kemunduran. Pada perkembangan Islam pada abad enam terakhir, umat islam bearada dalam lingkungan kejumudan yang disebabkan kehancuran Baghdad sebagai simbol peradaban ilmu pengetahuan dan agama pada pertengahan abad 13.[20]
Dua tahun kemudian beliau pindak ke Munich, Jerman. Di Universitas ini, beliau memperoleh gelar Ph. D dalam tasawuf dengan disertasinya yang berjudul The Development of Metaphysics in Persia (Perkembangan Metafisika di Persia).[21]
Beliau tinggal di Eropa kurang lebih selama tiga tahun. Sekembalinya dari Munich, beliau menjadi advokat dan juga sebagai dosen. Buku yang berjudul The Recontruction of Religius Thought in Islam adalah kumpulan dari ceramah-ceramahnya sejak tahun 1982 dan merupakan karyanya terbesar dalam bidang filsafat.[22]
Pada tahun 1930, beliau memasuki bidang politik dan menjadi ketua konferensi tahunan Liga Muslim di Allahabad, kemudian pada tahun 1931 dan tahun 1992, beliau ikut dalam Konferensi Meja Bundar di London yang membahas konstitusi baru bagi India. Pada bulan Oktober tahun 1933, beliau di undang ke Afganistan untuk membicarakan pembentukan Universitas Kabul. Pada tahun 1935, beliau jatuh sakit dan bertambah parah setelah istrinya meninggal dunia pada tahun itu pula, dan beliau meninggal pada tanggal 20 April 1935.[23]
2. Pemikiran Kalam Muhammad Iqbal
Islam dalam pandangan beliau menolak konsep lama yang menyatakan bahwa alam bersifat statis. Islam, katanya, mempertahankan konsep dinamis dan mengakui adanya gerak perubahan dalam kehidupan sosial manusia.[24]
Oleh karena itu, manusia dengan kemampuan khudi-nya harus menciptakan perubahan. Besarnya penghargaan beliau terhadap gerak dan perubahan ini membawa pemahaman yang dinamis tentang Al-Qur’an dan hokum Islam. Tujuan diturunnya Al-Qur’an, menurut beliau adalah membangkitkan kesadaran manusia sehingga mampu menerjemahkan dan menjabarkan nas-nas Al-Qur’an yang masih global dalam realita kehidupan dengan kemampuan nalar manusia dan dinamika manusia yang selalu berubah. Inilah yang dalam rumusan fiqh disebut ijtihad yang oleh beliau disebutnya sebagai prinsip gerak dalam struktur Islam.[25]
Oleh karena itu, untuk mengembalikan semangat dinamika Islam dan membuang kekakuan serta kejumudan hokum Islam, ijtihad harus dialihkan menjadi ijtihad kolektif. Menurut beliau, peralihan kekuasaan ijtihat individu yang mewakili mazhab tertentu kepada lembaga legislative Islam adalah satu-satunya bentuk yang paling tepat untuk menggerakkan spirit dalam sistem hokum Islam yang selama ini hilang dari umat Islam dan menyerukan kepada kaum muslimin agar menerima dan mengembangkan lebih lanjut hasil-hasil realisme tersebut.
Sebagaimana pandangan mayoritas ulama, beliau membagi kualifikasi ijtihad ke dalam tiga tingkatan, yaitu :[26]
· Otoritas penuh dalam menentukan perundang-undangan yang secara praktis hanya terbatas pada pendiri madzhab-madzhab saja;
· Otoritas relatif yang hanya dilakukan dalam batas-batas tertentu dari satu madzhab;
· Otoritas khusus yang berhubungan dengan penetapan hokum dalam kasus-kasus tertentu dengan tidak terikat pada ketentuan-ketentuan pendiri madzhab.
a. Hakikat Teologi
Secara umum beliau melihat teologi sebagai ilmu yang berdemensi keimanan, mendasarkan pada esensi tauhid (universal dan inklusivistik). Didalamnya terdapat jiwa yang bergerak berupa “persamaan, kesetiakawanan dan kebebasmerdekaan”.[27] Pandangannya tentang ontology teologi membuatnya berhasil melihat anomali (penyimpanan) yang melekat pada literatur ilmu kalam klasik.[28]
b. Pembuktian Tuhan
Dalam membuktikan eksistensi Tuhan, beliau menolak argumen kosmologis maupun ontologis. Beliau juga menolak argumen teleologis yang berusaha membuktikan eksistensi Tuhan yang mengatur ciptaan-Nya dari sebelah luar. Walaupun demikian, beliau menerima landasan teleologis yang imamen (tetap ada). Untuk menopang hal ini, beliau menolak pandangan yang statis tentang matter serta menerima pandangan Whitehead tentangnya sebagai struktur kejadian dalam aliran dinamis yang tidak berhenti. Karakter nyata konsep tersebut ditemukan beliau dalam “jangka waktu murni”-nya Bergson, yang tidak terjangkau oleh serial waktu. Dalam” jangka waktu murni”, ada perubahan, tetapi tidak ada suksesi (penggantian).[29]
c. Jati diri manusia
Faham dinamisme beliau berpengaruh besar terhadap jati diri manusia. Penelusuran terhadap pendapatnya tentang persoalan ini dapat dilihat dari konsepnya tentang ego, ide sentral dalam pemikiran filosofisnya. Kata itu diartikan dengan kepribadian. Manusia hidup untuk mengetahui kepribadiannya serta menguatkan dan mengembangkan bakat-bakatnya, bukan sebaliknya, yakni melemahkan pribadinya, seperti yang dilakukan oleh para sufi yang menundukkan jiwa sehingga fana dengan Allah.[30]
d. Dosa
Beliau secara tegas menyatakan dalam seluruh kualitasnya bahwa Al-Qur’an menampilkan ajaran tentang kebebasan ego manusia yang bersifat kreatif. Dalam hubungan ini, beliau mengembangkan cerita tentang kejatuhan Adam (karena memakan buah terlarang) sebagai kisah yang berisi pelajaran tentang “kebangkitan manusia dari kondisi primitive yang di kuasai hawa nafsu naluriah kepada pemilikan kepribadian bebas yang diperolehnya secara sadar, sehingga mampu mengatasi kebimbangan dan kecenderungan untuk membangkang” dan “timbulnya ego terbatas yang memiliki kemampuan untuk memiliki”.[31]
e. Surga dan Neraka
Surga dan Neraka, kata beliau adalah keadaan, bukan tempat. Gambaran-gambaran tentang keduanya di dalam Al-Qur’an adalah penampilan-penampilan kenyataan batin secara visual, yaitu sifatnya. Neraka, menurut rumusan Al-Qur’an adalah “ api Allah yang menyala-nyala dan yang membumbung ke atas hati”, pernyataan yang menyakitkan mengenai kegagalan manusia. Surga adalah kegembiraan karena mendapatkan kemenangan dalam mengatasi berbagai gorongan yang menuju kepada perpecahan.[32]
D. Sayyid Ahmad Khan
1. Riwayat Singkat Sayyid Ahmad Khan
Beliau lahir di Delhi pada tahun 1817. Menurut suatu keterangan, beliau berasal dari keturunan Husein, cucu Nabi Muhammad SAW.[33] Melalui Ali bin Abi Thalib dan Fatimah az Zahra.[34] Neneknya, Sayyid Hadi, adalah pembesar istana pada zaman Alamghir II (1754-1759). Sejak kecil, Beliau mendapat didikan tradisional dalam pengetahuan agama. Beliau belajar bahasa Arab dan juga bahasa Persia. Beliau rajin membaca buku dalam berbagai bidang ilmu pengetahuan. Ketika berusia delapan belas tahun, beliau bekerja pada Serikat India Timur.[35] Pengaruhnya beliau di Serikat India Timur khususnya di dunia Islam diakui cukup besar. Beliau pengliham utama kebangkitan orang Islam di masa abad 19, langsung atau tidak langsung beliau berperan dalam pengorganisasian beberapa gerakan masa dan gerakan reformis diseluruh umat Islam. Di dalamnya termasuk gerakan modernis dan khalikah di india, gerakan nasionalis dan modernis di Mesir, gerakan persatuan dan kemajuan di Turki.[36] Kemudian bekerja pula sebagai hakim, tetapi pada tahun 1846 beliau kembali ke Delhi dan mempergunakan kesempatan itu untuk belajar.[37]
Di kota Delhi inilah beliau dapat melihat langsung peninggalan-peninggalan kejayaan Islam dan bergaul dengan tokoh-tokoh dan pemuda muslim, seperti Nawab Ahmad Baksh, Nawab Mustafa Khan, Hakim Mahmud Khan, dan Nawab Aminuddin, Semasa di Delhi, beliau mulai mengarang. Karya pertamanya adalah Asar As-Sanadid, pada tahun 1855 beliau pindah ke Bijnore. Di tempat ini, beliau tetap mengarang buku-buku penting Islam di India. Pada tahun 1857 terjadi pemberontakan dan kekacauan politik di Delhi yang menyebabkan timbulnya kekerasan terhadap orang India. Ketika melihat keadaan rakyat Delhi, beliau sempat berpikir untuk meninggalkan India menuju Mesir, tetapi beliau sadar bahwa beliau harus memperjuangkan umat Islam India agar menjadi maju. Beliau berusaha mencegah terjadinya kekerasan dan banyak menolong orang Inggris dari pembunuhan, hingga diberi gelar Sir, tetapi beliau menolaknya.[38]
Pada tahun 1861 beliau mendirikan sekolah Inggris di Maradabad[39] dan Ghaziur untuk para pelajar yang ingin menuntut ilmu.[40] Pada tahun 1878 beliau mendirikan sekolah Mohammedan Anglo Oriental College (MAOC) di Aligarh yang merupakan karyanya yang paling bersejarah dan berpengaruh untuk memajukan umat Islam India.[41]
Membentuk All India Muhammadan Educational Conference yang bertujuan untuk memajukan pendidikan Islam di bidang kaum muslim. Sebagai pemikir Islam di bidang Pendidikan, banyak karya tulis yang di hasilkannya seperti tafsir Alqur’an 6 jilid, Tabyin al-Kalam 1862 tentang bible dan Asbab Baghawat i-Hind 1858 dan Essai and the life of Muhammad 1870 (biografi Nabi Muhammad).[42] Hingga akhir ayatnya beliau selalu mementingkan pendidikan umat Islam India [43]dan meninggal dunia pada tahun 1989.[44]
2. Pemikiran Kalam Sayyid Ahmad Khan
Beliau mempunyai kesamaan pemikiran dengan Muhammad Abduh di Mesdir, setelah Abduh berpisah dengan Jamaluddin Al-Afghani dan kembali dari pengasingan. Hal ini dapat dilihat dari beberapa ide yang dikemukakannya, terutama tentang akal yang mendapat penghargaan tinggi dalam pandangannya. Meskipun demikian, sebagai penganut ajaran Islam yang taat dan pecaya akan kebenaran wahyu, beliau berpendapat bahwa akal bukanlah segalanya dan kekuatan akal pun terbatas.[45]
Keyakinan kekuatan dan kebebasan akal menjadikan beliau percaya bahwa manusia bebas untuk menentukan kehendak dan melakukan perbuatan. Ini berarti bahwa beliau mempunyai faham yang sama dengan faham Qadariyah. Menurutnya, beliau telah dianugerahi Tuhan berbagai macam daya, diantaranya adalah daya berfikir berupa akal, dan daya fisik untuk merealisasikan kehendaknya. Karena kuatnya kepercayaan terhadap hokum alam dan kerasnya mempertahankan konsep hokum alam, beliau dianggap kafir oleh sebagian umat Islam. Bahkan ketika dating ke India pada tahun 1869, Jamaluddin Al-Afghani menerima keluhan itu. Sebagai tanggapan atas tuduhan tersebut, Jamaluddin mengarang sebuah buku yang berjudul Ar-Radd Ad-Dahriyah (Jawaban Bagi Kaum Materialis).
Sejalan dengan faham Qadariyah yang dianutnya, ia menentang keras faham aklid. Beliau berpendapat bahwa umat Islam India mundur karena mereka tidak mengikuti perkembangan zaman. Selanjutnya beliau mengemukakan bahwa Tuhan telah menentukan tabiat atau nature (sunnatullah) bagi setipa makhluk-Nya yang tetap dan tidak pernah berubah, Menurut beliau, Islam agama agama yang paling sesuai dengan hokum alam, karena hukum alam adalah ciptaan Tuhan dan Al-Qur’an adalah firman-Nya maka sudah tentu keduanya seiring sejalan dan tidak ada pertentangan.[46]
Sejalan dengan keyakinan tentang kekuatan akal dan hukum alam, beliau tidak mau pemikirannya tergantung otoritis Hadist dan Fiqh. Segala sesuatu diukurnya dengan kritis rasional. Beliau pun menolak semua yang bertentangan dengan logika dan hokum alam. Beliau hanya mau mengambil Al-Qur’an sebagai pedoman bagi Islam, sedangkan yang lain hanya bersifat membantu dan kurang begitu penting.Alasan penolakan beliau terhadap Hadist adalah karena Hadist berisi moralitas sosial dari masyarakat Islam pada abad pertama atau kedua sewaktu hadist tersebut dikumpulkan. Sedangkan hokum Fiqh, menurut beliau adalah berisi moralitas masyarakat berikutnya sampai saat timbulnya mazhab-mazhab. Beliau menolak taklid dan membawa Al-Qur’an untuk menguraikan relevansinya dengan masyarakat baru pada zaman itu.[47]
Sebagai konsekuensi dari penolakannya terhadap taklid, beliau memandang perlu diadakannya ijtihad-ijtihat baru untuk menyesuaikan pelaksanaan ajaran-ajaran Islam dengan situasi dan kondisi masyarakat yang senantiasa mengalami perubahan.[48]
BAB III
PENUTUP
1. Kesimpulan
Dari pembahasan di atas dapat disimpulkan bahwa, banyak pendapat mengenai ilmu kalam modern. Diantaranya pendapat Muhammad Abduh yaitu mendasarkan ilmu kalam modern kepada akal seperti kaum mu’tazilah.Sehingga pemuka-pemuka kalam modern lainnya setuju dan sependapat dengannya.Ia banyak mengemukakan tentang tuhan.
Sama halnya dengan Muahammad Abduh,Sayyid Ahmad khan juga sependapat dengannya,tapi tidak dengan Muhammad Iqbal,ia berbeda pendapat dengan keduanya karena ia menolak pemikiran tersebut. Iqbal memiliki beberapa pemikiran yang fundamental, yaitu intuisi, diri, dunia, dan Tuhan. Baginya, Iqbal sangat berpengaruh di India, bahkan pemikiran Muslim India dewasa ini tidak akan dapat dicapai tanpa mengkaji ide-idenya secara mendalam.
Dari ketiga tokoh ulama ini kita dapat mengambil pelajaran di mana para ulama tersebut rela berkorban dalam menyebarluaskan pemikiran-pemikirannya di dunia Islam yang mana umat Islam pada masa hidup para ulama ini sampai sekarang sudah lalai dengan kenikmatan dunia. Oleh sebab itu ketiga tokoh ulama ini mengajak umat Islam untuk kembali pada ajaran Islam yang sebenarnya.
Dari pembahasan di atas dapat disimpulkan bahwa, banyak pendapat mengenai ilmu kalam modern. Diantaranya pendapat Muhammad Abduh yaitu mendasarkan ilmu kalam modern kepada akal seperti kaum mu’tazilah.Sehingga pemuka-pemuka kalam modern lainnya setuju dan sependapat dengannya.Ia banyak mengemukakan tentang tuhan.
Sama halnya dengan Muahammad Abduh,Sayyid Ahmad khan juga sependapat dengannya,tapi tidak dengan Muhammad Iqbal,ia berbeda pendapat dengan keduanya karena ia menolak pemikiran tersebut. Iqbal memiliki beberapa pemikiran yang fundamental, yaitu intuisi, diri, dunia, dan Tuhan. Baginya, Iqbal sangat berpengaruh di India, bahkan pemikiran Muslim India dewasa ini tidak akan dapat dicapai tanpa mengkaji ide-idenya secara mendalam.
Dari ketiga tokoh ulama ini kita dapat mengambil pelajaran di mana para ulama tersebut rela berkorban dalam menyebarluaskan pemikiran-pemikirannya di dunia Islam yang mana umat Islam pada masa hidup para ulama ini sampai sekarang sudah lalai dengan kenikmatan dunia. Oleh sebab itu ketiga tokoh ulama ini mengajak umat Islam untuk kembali pada ajaran Islam yang sebenarnya.
DAFTAR PUSTAKA
Ahmad, Jamil, Seratus Muslim Terkemuka, Jakarta: Pustaka Firdaus, 2003
Ali, Mukti, Alam Pikiran Islam Modern di INDIA dan Pakistan, Bandung: Mizan, 1993
Ahmad, Muhammad, Tauhid Ilmu Kalam, Bandung: Pustaka Setia, 1997
Azzam, Abdul Wahab, Iqbal : siraTuh wa Falsafah wa syi’ruh, terj, Bandung: Pusataka,1985
Gibb, H.A.R. Aliran-Aliran Modern Dalam Islam, terj. Machnun Husein, Jakarta: Rajawali press,1995
Hasan, Abdillah F, Tokoh-Tokoh Mashur Dunia Islam, Jawara: Surabaya, 2004
Iqbal, Muhammad, the Recontraction Of Religion Thought In Islam, New Delhi: barVan, 1981
Nasution, Harun, Muhammad abduh dan Teologi Rasional, Jakarta: UI Press, 1987
-------------------, Pembaharuan Dalam Islam Sejarah Pemikiran Dan Gerakan, Jakarta: PT Bulan Bintang, 1990
Razak, Abdur dan Anwar, Rosihan, Ilmu Kalam, Bandung: Puskata Setia, 2006
Shihab, Quraish, Study Kritis Tafsir Al-Manar, Bandung: Pustaka Hidayah, 1994
[1] Quraish shihab, Study Kritis Tafsir Al-Manar, (Bandung: Pustaka Hidayah, 1994), hal. 12
[2] Ibid
[3] Abdur Razak dan Rosihan Anwar, Ilmu Kalam, (Bandung: Puskata Setia, 2006), hal. 212
[4] Ibid
[5] Ibid
[6] Ibid
[7] Abdillah F Hasan, Tokoh-Tokoh Mashur Dunia Islam, (Jawara: Surabaya, 2004), hal. 259
[8] Drs. Abdul Rozak,M.Ag, Ilmu Kalam…, hal. 213
[9] Abdul Rozak, Ilmu Kalam…, hal. 214
[10] Muhammad Ahmad, Tauhid Ilmu Kalam, (Bandung: Pustaka Setia, 1997), hal. 149
[11] Abdul Rozak, Ilmu Kalam…, hal. 215
[12]Harun Nasution, Muhammad abduh…, hal. 66
[13] Harun Nasution, Muhammad abduh dan Teologi Rasional, ( Jakarta: UI Press, 1987), hal. 57
[14] Abdul Rozak, Ilmu Kalam.., hal. 216
[15] Abdul Rozak, Ilmu Kalam.., hal. 216
[16] Ibid, hal. 216-217
[17] Ibid, hal. 217.
[18] Abdul Wahab Azzam, Iqbal : siraTuh wa Falsafah wa syi’ruh, terj, (Bandung: Pusataka,1985), hal. 17
[19] Ibid
[20] Abdillah F Hasan, Tokoh-Tokoh Mashur…, hal. 267-268
[21] Abdul Rozak, Ilmu Kalam.., hal. 220
[22]Harun Nasution, Pembaharuan Dalam Islam Sejarah Pemikiran Dan Gerakan.( Jakarta: PT Bulan Bintang, 1990). Hal. 190
[23] Abdul Rozak, Ilmu Kalam.., hal. 220-221
[24] Ibid
[25] Muhammad iqbal, the Recontraction Of Religion Thought In Islam, (New Delhi: barVan, 1981), hal. 92
[26] Abdul Rozak, Ilmu Kalam.., hal. 221
[27] Muhammad iqbal, the Recontraction…., hal. 154
[28]Abdul Rozak, Ilmu Kalam…, hal. 222
[29] Ibid, hal. 223.
[30] Azzam, Iqbal...hal. 56
[31] H.A.R. gibb, Aliran-Aliran Modern Dalam Islam, terj. Machnun Husein, (Jakarta: Rajawali press,1995), hal. 131-132
[32] Ibid, hal. 133-134
[33] Abdul Rozak, Ilmu Kalam…, hal. 217
[34] Abdillah F Hasan, Tokoh-Tokoh Mashur Dunia Islam.., hal. 257
[35] Abdul Rozak, Ilmu Kalam.., hal. 217
[36] Jamil Ahmad, Seratus Muslim Terkemuka,( Jakarta: Pustaka Firdaus, 2003), hal. 323-325
[37] Mukti Ali, Alam Pikiran Islam Modern di INDIA dan pAkistan, Bandung: Mizan, 1993), hal. 65-66
[38] Abdul Rozak, Ilmu Kalam.., hal. 217-218
[39] Ibid
[40] Abdillah F Hasan, Tokoh-Tokoh Mashur Dunia Islam.., halm. 258
[41] Abdul Rozak, Ilmu Kalam.., hal. 218
[42] Abdillah F Hasan, Tokoh-Tokoh Mashur Dunia Islam.., hal. 258
[43] Abdul Rozak, Ilmu Kalam.., hal. 218
[44] Abdillah F Hasan, Tokoh-Tokoh Mashur Dunia Islam.., hal. 257
[45] Abdul Rozak, Ilmu Kalam.., hal. 218
[46] Ibid, hal. 218-219
[47] Mukti Ali, Alam Pikiran Islam Modern di INDIA dan Pakistan, (Bandung: Mizan, 1993), hal. 65-66
[48] Abdul Rozak, Ilmu Kalam…, hlm 219
Ahmad, Jamil, Seratus Muslim Terkemuka, Jakarta: Pustaka Firdaus, 2003
Ali, Mukti, Alam Pikiran Islam Modern di INDIA dan Pakistan, Bandung: Mizan, 1993
Ahmad, Muhammad, Tauhid Ilmu Kalam, Bandung: Pustaka Setia, 1997
Azzam, Abdul Wahab, Iqbal : siraTuh wa Falsafah wa syi’ruh, terj, Bandung: Pusataka,1985
Gibb, H.A.R. Aliran-Aliran Modern Dalam Islam, terj. Machnun Husein, Jakarta: Rajawali press,1995
Hasan, Abdillah F, Tokoh-Tokoh Mashur Dunia Islam, Jawara: Surabaya, 2004
Iqbal, Muhammad, the Recontraction Of Religion Thought In Islam, New Delhi: barVan, 1981
Nasution, Harun, Muhammad abduh dan Teologi Rasional, Jakarta: UI Press, 1987
-------------------, Pembaharuan Dalam Islam Sejarah Pemikiran Dan Gerakan, Jakarta: PT Bulan Bintang, 1990
Razak, Abdur dan Anwar, Rosihan, Ilmu Kalam, Bandung: Puskata Setia, 2006
Shihab, Quraish, Study Kritis Tafsir Al-Manar, Bandung: Pustaka Hidayah, 1994
[1] Quraish shihab, Study Kritis Tafsir Al-Manar, (Bandung: Pustaka Hidayah, 1994), hal. 12
[2] Ibid
[3] Abdur Razak dan Rosihan Anwar, Ilmu Kalam, (Bandung: Puskata Setia, 2006), hal. 212
[4] Ibid
[5] Ibid
[6] Ibid
[7] Abdillah F Hasan, Tokoh-Tokoh Mashur Dunia Islam, (Jawara: Surabaya, 2004), hal. 259
[8] Drs. Abdul Rozak,M.Ag, Ilmu Kalam…, hal. 213
[9] Abdul Rozak, Ilmu Kalam…, hal. 214
[10] Muhammad Ahmad, Tauhid Ilmu Kalam, (Bandung: Pustaka Setia, 1997), hal. 149
[11] Abdul Rozak, Ilmu Kalam…, hal. 215
[12]Harun Nasution, Muhammad abduh…, hal. 66
[13] Harun Nasution, Muhammad abduh dan Teologi Rasional, ( Jakarta: UI Press, 1987), hal. 57
[14] Abdul Rozak, Ilmu Kalam.., hal. 216
[15] Abdul Rozak, Ilmu Kalam.., hal. 216
[16] Ibid, hal. 216-217
[17] Ibid, hal. 217.
[18] Abdul Wahab Azzam, Iqbal : siraTuh wa Falsafah wa syi’ruh, terj, (Bandung: Pusataka,1985), hal. 17
[19] Ibid
[20] Abdillah F Hasan, Tokoh-Tokoh Mashur…, hal. 267-268
[21] Abdul Rozak, Ilmu Kalam.., hal. 220
[22]Harun Nasution, Pembaharuan Dalam Islam Sejarah Pemikiran Dan Gerakan.( Jakarta: PT Bulan Bintang, 1990). Hal. 190
[23] Abdul Rozak, Ilmu Kalam.., hal. 220-221
[24] Ibid
[25] Muhammad iqbal, the Recontraction Of Religion Thought In Islam, (New Delhi: barVan, 1981), hal. 92
[26] Abdul Rozak, Ilmu Kalam.., hal. 221
[27] Muhammad iqbal, the Recontraction…., hal. 154
[28]Abdul Rozak, Ilmu Kalam…, hal. 222
[29] Ibid, hal. 223.
[30] Azzam, Iqbal...hal. 56
[31] H.A.R. gibb, Aliran-Aliran Modern Dalam Islam, terj. Machnun Husein, (Jakarta: Rajawali press,1995), hal. 131-132
[32] Ibid, hal. 133-134
[33] Abdul Rozak, Ilmu Kalam…, hal. 217
[34] Abdillah F Hasan, Tokoh-Tokoh Mashur Dunia Islam.., hal. 257
[35] Abdul Rozak, Ilmu Kalam.., hal. 217
[36] Jamil Ahmad, Seratus Muslim Terkemuka,( Jakarta: Pustaka Firdaus, 2003), hal. 323-325
[37] Mukti Ali, Alam Pikiran Islam Modern di INDIA dan pAkistan, Bandung: Mizan, 1993), hal. 65-66
[38] Abdul Rozak, Ilmu Kalam.., hal. 217-218
[39] Ibid
[40] Abdillah F Hasan, Tokoh-Tokoh Mashur Dunia Islam.., halm. 258
[41] Abdul Rozak, Ilmu Kalam.., hal. 218
[42] Abdillah F Hasan, Tokoh-Tokoh Mashur Dunia Islam.., hal. 258
[43] Abdul Rozak, Ilmu Kalam.., hal. 218
[44] Abdillah F Hasan, Tokoh-Tokoh Mashur Dunia Islam.., hal. 257
[45] Abdul Rozak, Ilmu Kalam.., hal. 218
[46] Ibid, hal. 218-219
[47] Mukti Ali, Alam Pikiran Islam Modern di INDIA dan Pakistan, (Bandung: Mizan, 1993), hal. 65-66
[48] Abdul Rozak, Ilmu Kalam…, hlm 219
Tidak ada komentar:
Posting Komentar