Perbandingan pendidikan

Selasa, 21 Oktober 2014

Rohmatul Ummah  (201386010002)
Safitri Erlinda Wulandari (201386010015)
Muhammad Surkron Makmun (201386010017)
M.Fajar Shoddiq (201386010018)

Siti Qomariyah (201386010026)



KATA PENGANTAR

Puji syukur penyusun panjatkan kehadirat Allah SWT, yang atas rahmat-Nya maka penyusun dapat menyelesaikan penyusunan makalah yang berjudul “Studi Kritis terhadap Ilmu Kalam”.
Dalam Penulisan makalah ini penyusun merasa masih banyak kekurangan-kekurangan baik pada teknis penulisan maupun materi, mengingat akan kemampuan yang dimiliki penulis. Untuk itu kritik dan saran dari semua pihak sangat penyusun harapkan demi penyempurnaan pembuatan makalah ini.
Dalam penulisan makalah ini penyusun menyampaikan ucapan terima kasih yang tak terhingga kepada pihak-pihak yang membantu dalam menyelesaikan makalah ini, khususnya kepada Semua pihak yang tidak dapat disebutkan satu persatu, yang telah memberikan bantuan dalam penulisan makalah ini.Akhirnya penyusun berharap semoga Allah memberikan imbalan yang setimpal pada mereka yang telah memberikan bantuan, dan dapat menjadikan semua bantuan ini sebagai ibadah, Amiin Yaa Robbal ‘Alamiin.




Penyusun









i

DAFTAR ISI

KataPengantar............................................................................................... i
Daftar Isi....................................................................................................... ii
PENDAHULUAN
Latar belakang.............................................................................................. 1
Rumusan masalah......................................................................................... 1
Tujuan penulisan makalah............................................................................ 1
PEMBAHASAN
Aspek Epistemologi Ilmu Kalam...................................................................2
Aspek Ontologi Ilmu Kalam..........................................................................5
Aspek Aksiologi Ilmu Kalam........................................................................6
PENUTUP
Kesimpulan.................................................................................................... 8
Daftar Pustaka................................................................................................ 9





BAB I
PENDAHULUAN
Latar Belakang
Pembahasan Kalam yang selama ini di bicarakan oleh Mutakallimin bukan berarti tidak mempunyai kelemahan. Kalau diperhatikan dengan cermat paling tidak ada tiga hal yang membutuhkan kritikan. Diantaranya adalah dari aspek epistemologi, aspek ontologi, dan aspek aksiologi.
Kritik epistemologi dalam ilmu kalam terdapat pada cara yang digunakan oleh para pemuka aliran kalam menyelesaikan persoalan kalam, terutama ketika mereka menafsirkan Al Qur’an. Bahkan demi membela sudut pandang tertentu, penafsiran-penafsiran teologis umumnya telah mendekati Al Qur’an secara atomistik dan parsial serta  terlepas dari konteks kesejarahan dan kesusastraannya
Aspek Ontologi ilmu kalam hanya berkisar pada persoalan-persoalan ketuhanan dan yang berkaitan dengannya yang berkesan  “mengawang-awang” dan jauh dari persoalan kehidupan manusia. Kalaupun tetap dpertahankan bahwa diskursus aliran kalam juga menyentuh persoalan kehidupan manusia, persoalan itu adalah sesuatu yang terjadi pada masa lampau
Sedangkan kritik aspek Askiologi  menyangkut pada kegunaan ilmu itu sendiri dalam menyingkap hakikat kebenaran. Muhammad Abduh mempunyai kesan yang hamper sam dengan pendahulunya. Dengan  menyitir sebuah hadis, “tafakkaru fi khalqillahi…….”,ia beranggapan bahwa objek penelaahan dan penelitian akal pikiran manusia, pada dasarnya adalah sifat-sifat dasar dari segala fenomena yang ditemui dalam kehidupannya. Dari penelitian sifat dasar tersebut, akan ditemukan hukum-hukum sebab akibat yang melatarbelakanginya. Di luar wilayah itu, akal pikiran tidak dapat menembusnya
Dibawah ini akan di paparkan tentang analisa kritik terhadap ilmu kalam, agar kita dapat memperbaiki kalam yang berwawasan mooden.
Rumusan masalah
Bagaimana mengetahui Aspek Epistimologi Ilmu Kalam
Bagaimana mengetahui Aspek Ontologi Ilmu Kalam
Bagaimana mengetahui Aspek Aksiologi Ilmu Kalam.


Tujuan
Agar mahasiswa dapat mengetahui Aspek Epistimologi Ilmu Kalam
Agar mahasiswa dapat mengetahui Aspek Ontologi Ilmu Kalam
Agar mahasiswa dapat mengetahui Aspek  Aksiologi Ilmu Kalam.


BAB II
PEMBAHASAN
ASPEK EPISTIMOLOGI ILMU KALAM
Yang di maksud Epistimologi pada pembahasan ini adalah cara yang di gunakan oleh para pemuka aliran kalam dalam menyelesaikan persoalan kalam, terutama ketika mereka menafsirkan Al-Qur’an. Kritikan terhadap aspek ini umpamanya di kemukakan oleh Taufiq Adnan Amaldan Syamsu Rizal Panggabean. Mereka menyangkut sisi kelemahan aliran kalam dalam aspek metodologi.
Demi membela sudut pandang tertentu, penfsiran-penafsiran teologis tentunya telah mendekati Al-Qur’an secara atomistik dan parsial serta terlepas dari konteks kesejarahan dan kesustraannya. Pemaksaan gagasan asing kedalam Al-Qur’an juga merupakan gejala yang mewabah.
Contoh penafsiran semacam ini, terlihat jelas dalam pandangan golongan Asy’ariyah mengenai kehabsahan Al-Qur’an. Sebagaimana telah di ketahui pandangan mereka tentang ini merupakan tanggapan atas pandangan golongan Muktazilah. Penekanan Muktazilah pada ke-Esaan Tuhan  yang membuat mereka di gelari Ahl al- Adl al Tauhid telah menyebabkan mereka menolak doktrin keabadian Al-Qur’an sebagaimana yang telah diyakini golongan Ahlu Sunnah. Menurut Muktazilah, Al-Qur’an adalah mahluk (ciptaan). Jika tidak demikian tentulah ada yang abadi selain Allah, dan ini bertentangan dengan keesaan Allah.
Golongan Asy’ariyah percaya bahwa Al-Qur’an atau kalam Allah itu abadi (qadim), Al-Qur’an merupakan perintah Tuhan. Kata kreatif  kun (ada), merupakan seluruh bentuk sifatkata yang abadi, untuk menjelesakan hal ini , mereka rujuk Firman Allah berikut.

ﺇﻧﻤﺎﺃﻤﺭﻩﺇﺬﺁﺃﺮﺪﺷﻳﺄﺃﻦﻳﻗﻮﻞﻟﻪﻜﻦﻓﻳﻜﻮﻥ
Artinya: “ Sesungguhnya perintah-Nya, apabila Dia menghendaki sesuatu hanyalah berkata kepadanya : “Jadila!”maka terjadilah ia.





Menurut golongan asy’ariyah, ayat di atas menunjukan bahwa adanya perintah kreatif dan perkataan kreatif (kun), di alam. Disamping itu dengan berpijak pada ayat beikut ini :

ﻭﻣﻦﺍﻳﺎﺘﻪﺃﻧﺘﻘﻮﻡﺍﻠﺳﻤﺎﺀﻭﺍﻷﺮﺽﺒﺄﻣﺮﻩﺛﻡﺍﺫﺍﺪﻋﺎﻛﻢﻋﻮﺓﻤﻦﺍﻷﺮﺽﺇﺬﺍﺃﻨﺘﻢﺘﺧﺭﺠﻭﻥ
Artinya :” Dan diantara tanda-tanda kekuasaan-Nya ialah berdirinya langit dan bumi dengan iradat-Nya, Kemudian apabila Ia memanggil kamu semua sekali panggil dari bumi, seketika itu (juga) kamu keluar (dari kubur).
(Qs. Ar-Rum:25).
Dengan ayat ini, mereka berdalih bahwa perintah Tuhan bukan hanya merupakan alat pencipta, tetapi tetapi juga pokok penegak ciptaan-Nya.
Ayat-ayat yang dirujuk tersebut, menurut adnan dan Rizal, sebenarnya di tegaskan untuk di maksudkan kemahakuasaan Tuhan. Sebagai pencipta dan pemelihara alam semesta. Namun, ayat-ayat ini telah di belokkan maknanya oleh golongan Asy’ariyah untuk mendukung keabadian Al-Qur’an, sebagai tanggapan terhadap kalangan muktazilah. Teori golongan asy’ariyah tentang keabadian Al-Qur’an, senada dan berada di bawah pengaruh teori –teori teolog Kristen dan pengikut aliran setoa tentang logos.
Adnan dan Rizal melihat bahwa penafsiran kalangan Asy’ariyah tersebut pada kenyataannya merupakan tanggapan terhadap kebutuhan sejarah, yakni untuk mebela sudut pandang untuk golongan Ahlus sunah. Penafsiran tersebut tidaklah dicuatkan dari Al-Qur’an tetapi lebih merupakan pemaksaan gagasan-gagasan asing kedalamnya.
Contoh mengenai gagasan asing yang telah dipaksakan kedalam Al-Qur’an dapat dilihat dalam paparan mngenai kebangkitan manusia di ahirat. Dikalangan Ahlussunah, terdapat keyakinan yang kuat mngenai kebangkitan fisik di ahirat.
Pemahaman semacam ini yang di peroleh lewat pemahaman harfis lewat ayat-ayat Ukhrawi Al-Qur’an tentu saja sulit di terima oleh kaum filosof. Oleh karena itu, mereka menafsirkan secara elegoris pernyataan-pernyataan Al-Qu’an tentangnya sebagai kebangkitan spiritual, yitu hany roh manusia saja, yang akan di bangkitkan oleh Tuhan di hari kemudian.
Kritikan senada di kemukakan oleh Muhamad Husein Azd-Dzahabi aliran kalam yang banyak mendapat sorotan Adz-Dzahabi adalah khawarij, muktazilah, dan syia’ah. Yang di pandang banyak menakwilkan ayat-ayat Al-Qur’an secara tidak propesional dan menyimpangkan makna teks-teks Al-Qur’an dari makna sebenarnya dengan tujuan untuk mendukung prinsip-prinsip yang di yakininya. Contohnya adalah penafsiran tokoh-tokoh khawarij terhadap firman Allah :

ﻮﻤﻥﻠﻢﻴﺤﻛﻡﺒﻣﺎﺃﻨﺰﻞﷲﻓﺄﻭﻠﺌﻚﻫﻢﺍﻠﻜﺎﻔﺭﻮﻥ
Artinya : “Barang siapa yang tidak memutuskan menurut apa yang di turunkan Allah maka mereka itu adalah orang-orang yang kafir.” (QS. Al-Maidah:44).

Tanpa mnyebutkan alasannya Adz-Dzahabi menjelaskan bahwa para pemuka khawarij berusaha menafsirkan ayat di atas sesuai denga pendapat madzhabnya, yakni bahwa setiap orang yang melakukan dosa besar berarti telah mengambil keputusan hukum dengan hukuman selain yang di turunkan Allah.
Adz-Dzahabi mengatakan demikian:
Pertanyaannya apakah pemahaman-pemahaman dan pendapat-pendapat mereka mengenai ayat di atas dapat di terima ? kami katakan tidak.... Kelompok khawarij itu bersifat fanatik dan sangat terikat dengan keyakinan madzhabnya.
Contoh lainnya adalah penafsiran tokoh-tokoh muktazilah terhadap firman Allah berikut ini :
ﻭﺠﻮﻩﻴﻭﻤﺋﺬﻧﺎﻀﺭﺓﺍﻠﻰﺭﺒﻬﺎﻧﺎﻀﺭﺓ
Artinya :” Wajah-wajah (orang-orang mukmin) pada hari itu berseri-seri kepada Tuhannya mereka melihat.” (Qs. Al-Qiyamah:22-23).
Mereka mena’wilkan ayat ini sesuai dengan pendapatnya yakni ketidak mungkinan Allah dapat dilihat di akhirat kelak. Dengan penakwilan itu Adz-Dzahabi melihat bahwa mereka berusaha menyimpangkan kata Nadhiro dari arti yang sebenarnya yakni melihat dengan kepala sendiri.
Adapun contoh penyimpangan yang di lakukan syiah, dan di pandang menyimpang oleh Adz-Dzahabi adalah apa yang di lakukan Hasan Al-Askari ketika menafsirkan firman Allah SWT.
ﻭﺍﻟﻬﻛﻢﺍﻠﻪﻮﺍﺤﺪﻻﺍﻠﻪﺍﻻﻫﻭﺍﻠﺮﺤﻤﻥﺍﻟﺭﺤﻴﻢ

Artinya : “ Dan Tuhanmu adalah Tuhan Yang maha Esa; tidak ada Tuhan (yang berhak disembah) melainkan Dia, Yang Maha Pemurah dan lagi Maha Penyayang.
Al-askari mengatakan bahwa kata Ar-rahman berarti Maha pemurah kepada hamba-hambaNya, yang beriman dari kalangan (Syi’ah) keluarga Muhammad SAW. Allah memperkenankan mereka untuk melaukukan Taqiyah.
Menanggapi penafsiran di atas  Adz-Dzahabi menjelaskan bahwa penyimpangan yang di lakukan Al-Asykari di atas didorong oleh prinsip (ajaran) taqiyah yang dianut oleh kelompok Syiah imamiyah. Adz-Dzahabi melihat bahwa penafsiran di atas lebih bernuansa politik.
Tiap-tiap aliran kalam memang mengklaim memiliki misi suci ketika menyelesaikan persoalan-persoalan kalam. Misalnya dengan faham menafikan sifat-sifat Allah, aliran Muktazilah “bertujuan” menyucikan (tanzih) Allah dengan keserupaan dengan mahlukNya dan dalam rangka mempertahankan prinsip Tauhid sebagaimana yang mereka anut. Namun, misi ini tidak berjalan secara sempurna karena terkontaminasi oleh interes-inters pribadi atau kelompok.
Berkaitan dengan kritik yang di tunjukan kepada epistimologi ilmu kalam, M. Iqbal melihat adanya Anomali (penyimpangan) lain yang melekat dalam litelatur ilmu kalam klasik. Teologi Asy’ariyah, umpamanya menggunakan cara dan pola berfikir Yunani untuk mempertahankan dan mendefinisikan pemahaman ortodoksi islam, adapun muktazilah justru sebaliknya. Mereka terlalu jauh bersandar pada akal. Akibatnya mereka tidak menyadari bahwa dalam wilayah pengetahuan agama, pemisahan anatara pemikiran keagamaan dari pemikiran konkrit merupakan kesalahan yang besar.
Dengan meninjau ulang adanya anomali-anomali yang melekat pada rancang bangun epistimologi ilmu kalam perlu di kembangkan dan di kembangkan sesuai dengan tuntutan perkembengan zaman yang di lalui oleh sejarah kehidupan manusia.

ASPEK ONTOLOGI ILMU KALAM
Harus di akui bahwa diskursus aliran-aliran kalam yang ada hanya berkisar pada persoalan-persoalan keTuhanan dan yang berkaitan denganNya yang terkesan “mengawang-awang” dan jauh dari persoalan kehidupan umat manusia.
Berangkat dari hal itu, Fazlur Rahman berupaya memformulasikan lagi hakikat ilmu kalam yang pada gilirannya mampu memperluas diskursus-diskursusnya. Teologi atau berteologi. Secara pasti teolohi islam merupakan usaha intelektual yang memberi penuturan koheren dan setia dengan isi yang ada dalam Al-qur’an. Teologi harus memiliki kegunuaan dalam agama apabila teologi itu fungsional dalam kehidupan agama.
Teologi islam dan kalam yang hidup untuk era yang sekarang ini berdialog dengan realitas dan perkembangan pemikiran yang berjalan saat ini. Bukan teologi yang yang berdialog dengan masa lalu, apalagi silam yang terlalu jauh. Teologi islam atau kalam modern harus bersentuhan  dengan pemikiran dan falsafah Barat modern lantaran filsafat Barat kontemporer itulah yang di bentuk dan di pahami oleh arus perubahan yang diakibatkan oleh perkembangan iptek.
Diantara diskursus ilmu kalam yang menjadi bahan sorotan para pemikir kontemporer adalah konstruksi ilmu kalam ala Asy’ariyah, yaitu konsepsi mereka tentang hukum kausalitas. Sebagaimana di ketahui oleh para peminat studi ilmu kalam Asy’ariyah, yang kemudian di kokohkan oleh Al-Ghazali bahwa kausalitas tidak cocok dengan realita keilmuan yang berkembang dewasa ini.Pemikiran kausalitas kalam Asy’ariyah tidak kondusif untuk menumbuhkan etos kerja keilmuan, baik dalam ilmu-ilmu keagamaan maupun humaniora.

ASPEK AKSIOLOGI ILMU KALAM
Kritikan yang di alamatkan pada aspek aksiologi ilmu kalam menyangkut pada kegunaan ilmu itu sendiri dalam menyingkap arti kebenaran. Al-Ghazali sebagai seorang tokoh ahli kalam klasik, dapat disebut sebagai cendikiawan muslim yang mempermasalahkan hal ini. Ia tidak serta merta menolak ilmu kalam, tetapi menggaris bawahi keterbatasan-keterbatasan ilmu ini sehingga berkesimpulan bahwa ilmu ini tidak mengantarkan manusia untuk mendekati Tuhan. Hanya kehidupan sufilah yang mampu mengantarkan seseorang dekat dengan Tuhan. Mungkin karena diantaranya alasan ini pula Ibnu Taimiyah dengan penuh semangat menganjurkan kaum muslimin untuk menjauhi ilmu kalam seperti halnya orang yang menjauhi singa.
Bertolak dari kelemahan-kelemahan ilmu alam diatas, tampaknya dekontruksi untuk ilmu ini merupakan sebuah keniscayaan. Dekontruksi tidak hanya berarti membongkar yang sudah ada. Didalam dekontruksi tetap di perlukan usaha-usaha yang mengiringinya yang merekontruksi apa yang seharusnya merupakan tuntutan baru.
Tujuan dekontruksi adalah melakukan “demitologisasi” konsep atau pandangan-pandangan yang ada, yang telah menjadi teks yang sakral dan mitos keilmuan dalam dunia islam. Untuk mencapai semua itu, perlu dilakukan pembongkaran melalui gagasan kritis dan mendasarkan tipe rasionalitas yang seharusnya menjadi alas ilmu tersebut, serta secara modern menilai kembali wahyu sebagai gejala budaya dan sejarah yang kompleks.
Pada titik ini, Ahmad hanafi melihat perlunya pergeseran paradigma dari yang bercorak tradisional, yang bersandar pada paradigma logicometafisika ( dialektika kata-kata ), ke arah teologi yang berdasarkan pada paradigma “empiris” ( dialektika sosial politik ). Untuk itu , diperlukan “kesadaran historis” yang menentukan keaslian teks dan tingkat kepastiannya “kesadaran eidetik”, yang menjelaskan makna teks menjadi rasional dan “kesadaran praktis” yang menggunakan makna tersebut sebagai dasar teoritik bagi tindakan dan mengantarkan wahyu pada tujuan akhir dalam kehidupan manusia di dunia.



















BAB III
PENUTUP
Kesimpulan
Secara garis besar,  titik kelemahan ilmu kalam yang menjadi sorotan para pengkritiknya berputar pada tiga aspek yaitu:
Aspek Epistemologi Ilmu kalam Yang di maksud Epistimologi pada pembahasan ini adalah cara yang di gunakan oleh para pemuka aliran kalam dalam menyelesaikan persoalan kalam, terutama ketika mereka menafsirkan Al-Qur’an. Kritikan terhadap aspek ini umpamanya di kemukakan oleh Taufiq Adnan Amaldan Syamsu Rizal Panggabean. Mereka menyangkut sisi kelemahan aliran kalam dalam aspek metodologi.Aspek Ontologi ilmu kalam Harus di akui bahwa diskursus aliran-aliran kalam yang ada hanya berkisar pada persoalan-persoalan keTuhanan dan yang berkaitan denganNya yang terkesan “mengawang-awang” dan jauh dari persoalan kehidupan umat manusia.Aspek aksiologi ilmu kalam Kritikan yang di alamatkan pada aspek aksiologi ilmu kalam menyangkut pada kegunaan ilmu itu sendiri dalam menyingkap arti kebenaran. Al-Ghazali sebagai seorang tokoh ahli kalam klasik, dapat disebut sebagai cendikiawan muslim yang mempermasalahkan hal ini. Ia tidak serta merta menolak ilmu kalam, tetapi menggaris bawahi keterbatasan-keterbatasan ilmu ini sehingga berkesimpulan bahwa ilmu ini tidak mengantarkan manusia untuk mendekati Tuhan. Hanya kehidupan sufilah yang mampu mengantarkan seseorang dekat dengan Tuhan. Mungkin karena diantaranya alasan ini pula Ibnu Taimiyah dengan penuh semangat menganjurkan kaum muslimin untuk menjauhi ilmu kalam seperti halnya orang yang menjauhi singa.






Daftar Pustaka
Rozak Abdul Ilmu Kalam,Pustaka Setia, Bandung,2011








ii

Tidak ada komentar:

Posting Komentar